Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah
Termasuk Akhlak yang Baik
bersama Allah 'Azza Wa Jalla Seseorang Menerima Hukum-Hukum Allah dengan
Cara Menerima, Melaksanakan, Dan Menerapkan
Sehingga
dia tidak menolak sesuatupun dari hukum-hukum Allah. Jika dia menolak
dari sesuatu hukum-hukum Allah, maka ini adalah akhlak yang jelek
bersama Allah 'azza wa jalla,
- baik dia menolaknya dengan mengingkari hukumnya,
- atau menolaknya karena merasa sombong untuk mengamalkannya,
- atau menolaknya karena mengentengkan beramal dengannya.
Sesungguhnya hal itu meniadakan akhlak yang baik bersama Allah 'azza wa jalla.
Contoh atas hal itu: puasa.
Puasa
tidak diragukan bahwa ia dirasa berat oleh jiwa-jiwa, karena manusia
meninggalkan kebiasaan padanya, seperti: makan, minum, dan menggauli
istri. Dan ini adalah perkara yang berat bagi manusia. Akan tetapi
seorang mukmin yang berakhlak baik bersama Allah akan menerima
pembebanan (taklif) ini, atau dengan ungkapan yang lain: menerima
pemuliaan (tasyrif) ini. Ini sebenarnya adalah sebuah kenikmatan dari
Allah. Maka seorang mukmin akan menerima nikmat yang dalam bentuk sebuah
pembebanan ini dengan dada yang lapang dan tenang. Jiwanya akan menjadi
lapang terhadapnya. Sehingga engkau mendapatinya berpuasa pada
hari-hari yang panjang dan sangat panas. Dan dia dengan hal itu ridha
dan lapang dadanya, karena dia berakhlak baik bersama Rabbnya, sedangkan
orang yang jelek akhlaknya bersama Allah akan menyikapi ibadah ini
dengan kebosanan dan kebencian. Kalau dia tidak takut dari perkara yang
tidak baik akibatnya, sungguh dia tidak akan berpuasa.
Contoh yang lain adalah shalat.
Shalat
tidak diragukan lagi dirasakan berat oleh sebagian orang. Shalat itu
berat atas orang-orang munafik, sebagaimana perkataan Nabi 'alaihish shalatu wassalam:
((أَثْقَلُ الصَّلاَةِ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ))
“Shalat yang paling berat atas orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan shalat subuh.”[1]
Tetapi shalat dalam kaitannya dengan seorang mukmin tidaklah berat. Allah ta’ala berfirman:
{وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى
الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاَقُو رَبِّهِمْ
وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
"Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu)
orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya." (Al-Baqarah: 45-46)
Shalat atas orang-orang ini
tidaklah berat, namun mudah dan gampang. Oleh karena itu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ))
"Dan dijadikan penyejuk jiwaku dalam shalat."[2]
Maka shalat adalah penyejuk jiwa
bagi seorang mukmin dan merupakan bekal hariannya yang dia gunakan
sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah ta'ala. Oleh karena ini,
seorang mukmin menganggap besar nilainya dan sangat perhatian dengannya,
karena shalat itu adalah tiang agama dan perkara pertama yang akan
dihisab dari seorang pada hari kiamat.
Maka akhlak yang baik bersama
Allah 'azza wa jalla berkaitan dengan shalat adalah dengan engkau
menunaikan shalat dalam keadaan hatimu lapang dan tenang dan jiwamu
tenang, dan engkau gembira bila engkau masuk di dalamnya. Dan engkau
menunggunya jika waktunya lewat. Jika engkau telah shalat zhuhur, engkau
merindukan shalat ashar. Jika engkau telah shalat ashar, engkau
merindukan shalat maghrib. Jika engkau telah shalat maghrib, engkau
merindukan shalat isya'. Dan jika engkau telah shalat isya', engkau
merindukan shalat subuh.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Bilal radhiyallahu 'anhu:
((يَا بِلاَلُ أَرِحْنَا بِالصَّلاَةِ))
"Wahai Bilal, gembirakanlah kami dengan shalat!"[3]
Beliau bersabda: "Gembirakanlah
kami dengannya", maka sesungguhnya dalam shalat ada kelapangan,
ketenangan, dan ketentraman. Tidak sebagaimana yang dikatakan sebagian
orang: "Bebaskan kami darinya (أَرِحْنَا مِنْهَا)", karena shalat itu
berat atas mereka dan berat atas jiwa-jiwa mereka.
Demikianlah
seterusnya engkau menjadikan hatimu bergantung dengan shalat-shalat
ini. Maka ini tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dari akhlak yang
baik bersama Allah ta'ala.
Contoh yang ketiga: pengharaman riba.
Dan
ini dalam muamalah, sungguh Allah telah mengharamkan riba atas kita
dengan pengharaman yang kuat, dan Allah menghalalkan jual beli bagi
kita. Allah berfirman tentang hal itu:
{الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, karena mereka berpendapat:
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Maka Allah mengancam orang yang
kembali kepada riba setelah datang kepadanya larangan dan dia mengetahui
hukumnya, maka Allah mengancamnya dengan kekal di neraka. Dan kita
berlindung kepada Allah (dari hal itu). Bahkan Allah mengancamnya di
dunia juga dengan peperangan, Allah berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا
بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ}
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ini menunjukkan betapa besarnya kejahatan ini dan menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar dan pembinasa.
Seorang
mukmin menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha, dan pasrah.
Sedangkan selain mukmin, dia tidak menerimanya, dadanya sempit
karenanya. Kadang dia menyiasati (dengan menggunakan kelicikannya)
terhadapnya dengan berbagai macam tipu muslihat. Karena kita mengetahui
bahwa dalam riba ada sebuah keuntungan yang diketahui secara pasti dan
di dalamnya tidak ada pertaruhan (antara untung dan rugi) apapun. Akan
tetapi riba sebenarnya adalah sebuah keuntungan bagi seseorang dan
kezhaliman bagi yang lain. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
{وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ}
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)
[1] Shahih. HR. Al-Bukhari 644, Muslim 651, At-Tirmidzi 217, Abu Dawud 548, An-Nasai 848, dan Ibnu Majah 791.
[2] Shahih. An-Nasai 3949. Shahihul Jami’ 3134.
[3] Shahih. HR. Abu Dawud 4985 dan Ahmad dalam Al-Musnad (5/364), Shahih Al-Jami' 7892.
(Sumber: Makarimul Akhlak)
Baca Selengkapnya: Menerima Hukum-Hukum Allah dengan Cara Menerima, Melaksanakan, Dan Menerapkannya:Bimbingan Islam | ahlussunnah wal jama-ah | salafiy http://bimbingan-islam.blogspot.com/2010/07/menerima-hukum-hukum-allah-dengan-cara.html#ixzz1hWuL1S3R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar