Penulis: Al Ustadz Abdul Mu’thi
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi timbul pula tuduhan dari
sebagian da’i yang mengaku bermanhaj Salaf karena banyak terpengaruh oleh
pemikiran-pemikiran bid’ah Ikhwaniyyah. Mereka menuduh bahwa para da’i Ahlus
Sunnah yang bermanhaj Salaf yang selalu men-tahdzir (memperingatkan) umat dari
bahaya pemikiran para da’i yang tidak paham manhaj Salaf yang akan dapat
menjauhkan umat dari shiratal mustaqim serta menjauhkan umat dari para da’i
yang mengajak ke neraka Jahannam dengan cara melarang duduk bermajelis
mengambil ilmu dari mereka[14] sebagai da’i yang mengajak kepada
hizbiyah (fanatik golongan) dan mengajarkan taklid. Mereka juga menuduh para
pengikutnya sebagai orang-orang yang muqallid. Wallahul Musta’an.
Dakwah adalah amalan yang mulia di
dalam Islam karena dengannya Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia. Para
Rasul diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berdakwah menyampaikan
risalah dari Allah yang padanya ada kebaikan dunia dan akhirat bagi seluruh
manusia. Di dalam Al Quran banyak ayat yang memerintahkan kepada Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk berdakwah. Di antranya firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk jadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi
cahaya yang menerangi.” (QS. Al Ahzab : 45-46)
“ … dan serulah kepada (agama)
Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. Al
Hajj : 67)
“ … serulah mereka ke (jalan) Rabbmu
dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.”
(QS. Al Qashash : 87)
Katakanlah : “Sesungguhnya aku hanya
diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukan sesuatupun
dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku
kembali.” (QS. Ar Ra’du : 36)
Perintah untuk berdakwah pada
ayat-ayat di atas tidak hanya berlaku bagi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam saja akan tetapi berlaku juga bagi seluruh umatnya. Karena pada dasarnya
perintah Allah terhadap Rasul-Nya juga merupakan perintah terhadap umatnya.
Allah berfirman :
“Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110)
Pada ayat ini Allah menjelaskan
bahwa berdakwah dengan cara amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk sifat khusus
bagi kaum Mukminin. Dengan demikian jelaslah bahwa berdakwah merupakan tugas
bagi seluruh kaum Muslimin sesuai dengan kamampuan dan keilmuannya
masing-masing. Hanya saja dalam hal ini para ulama mempunyai kekhususan dalam
dakwahnya yakni kewajiban untuk menyampaikan kemuliaan-kemuliaan Islam,
hukum-hukum, dan makna- maknanya yang detail serta permasalahan-permasalahan
ijtihad. Hal ini dikarenakan luasnya ilmu mereka dan pengetahuan mereka tentang
berbagai macam masalah[1].
Akan tetapi perlu diingat, setiap
dakwah yang dilancarkan oleh siapa saja dari kalangan kaum Muslimin harus
didasari ilmu. Sedangkan ilmu itu adalah Al Quran dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Sebagaimana yang dipahami dari perkataan Ibnul Qayyim[2].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
Katakanlah (Ya Muhammad) : “Inilah
jalan (agama)ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan bashirah (ilmu) aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci
Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)
Dengan demikian seluruh dakwah yang
disampaikan harus didasari Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf.
Dakwah seperti inilah yang diistilahkan dengan dakwah Salafiyah atau dakwah
Ahlus Sunnah. Di samping adanya dakwah Salafiyah muncul pula berbagai macam
dakwah hizbiyah, yakni seruan untuk mengikuti dan membela pemahaman-pemahaman
yang menyimpang dari pemahaman Salaf yang dibawa oleh para tokoh atau pemimpin
dan pembesar- pembesar. Mereka mengukur kebenaran dengan para tokoh, pemimpin,
dan pembesarnya, tidak diukur dengan Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman
Salaf.
Oleh karena itu semakin kaburlah
kebenaran di kalangan umat disebabkan munculnya dakwah hizbiyah ini. Salah
seorang shahabat yang mulia, Ali radliyallahu 'anhu pernah berwasiat :
“Wahai Harits, Al Haq itu tidak
diketahui (yakni diukur) dengan para tokoh-tokoh. Ketahuilah Al Haq, kamu akan
mengetahui siapa Ahlul Haq itu[3].” (Ushul fil Bida’ was Sunnan oleh
Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16)
Wasiat ini mengandung peringatan
agar jangan mengukur kebenaran dengan orang tertentu. Apakah itu para tokoh,
pemimpin, pembesar, ulama, umara, dan yang lainnya. Akan tetapi belajarlah Al
Haq kemudian ukurlah para tokoh, pemimpin, ulama, umara, dan pembesar dengan Al
Haq tersebut. Dengan demikian dapat diketahui apakah mereka termasuk Ahlul Haq
atau bukan?
Wasiat ini sangat penting bagi kita
agar berhati-hati dari dakwah hizbiyah karena kaburnya Al Haq dan timbulnya
berbagai macam perpecahan dan perselisihan. Dari mereka inilah muncul berbagai
macam syubhat dari orang-orang yang menginginkan kebathilan, di antaranya :
“Mengapa dakwah yang mengajak kepada
suatu kelompok, golongan, dan organisasi Islam yang dipimpin oleh seorang tokoh
dikatakan dakwah hizbiyah padahal bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah juga
merupakan suatu kelompok yang dipimpin ulama? Kenapa dakwah Ahlus Sunnah wal
Jamaah tidak disebut dengan dakwah hizbiyah?”
Dalam tulisan ini kami akan membahas
makna dari Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sejarah munculnya pemahaman tersebut.
Mudah-mudahan dengan demikian akan dapat memperjelas keadaan dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah dan perbedaannya dengan dakwah hizbiyah. Kemudian kami juga
Insya Allah akan menjelaskan hakikat dakwah hizbiyah beserta jalan keluar dari
dakwah hizbiyah tersebut.
Makna Ahlus Sunnah wal Jamaah
Ibnu Rajab berkata : “As Sunnah
adalah jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dia berada di atasnya dan
juga para shahabat yang selamat dari berbagai macam syubhat dan syahwat.”
(Kasyful Kurbah oleh Ibnu Rajab halaman 11-12)
Berkata Imam Al Alusy dalam kitabnya
Ghayatul Amaany : “Kata As Sunnah pada asalnya adalah setiap perkara yang
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya dan apa saja yang
telah di sunnahkan atau perintahkan dengannya baik dalam permsalahan ushuluddin
maupun dalam permasalahan furu-furu (cabang-cabangnya)[4].
(Kata ini) juga digunakan pada
setiap perkara yang mana para Salafush Shalih berada di atasnya, baik dalam
masalah imamah, pengutamaan (di antara para shahabat) maupun menahan diri dari
setiap perkara yang para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
berselisih padanya.” (Ghayatul Amaany, Al Ahisy 1/428)
Dari definisi di atas, Ahlus Sunnah
adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam
seluruh perkara yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya
dan juga para shahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah
para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang
mengikuti mereka sampai hari kiamat.
Imam Ibnu Hazm berkata dalam
kitabnya : “Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq sedangkan yang selain mereka adalah
ahlul bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) adalah para shahabat
radliyallahu 'anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari
kalangan para tabi’in yang mendapatkan rahmat Allah atas mereka kemudian para
Ashhabul Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, generasi demi
generasi sampai masa kita sekarang ini. Demikian pula orang-orang yang
mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini.
Semoga Allah melimpahkan rahmatnya atas mereka[5].” (Al Fashl 2/107)
Adapun sebab penamaan mereka dengan
Ahlus Sunnah adalah sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu Taimiyah dengan
perkataannya : “Hanya saja mereka dinamakan dengan Ahlus Sunnah karena mereka
mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” (Al Muntaqa halaman
190). Hal yang sama juga diucapkan oleh Abu Mudhaffar Al Isfirayini : “Tidak
ada pada kelompok-kelompok yang ada pada umat ini (orang) yang paling banyak
mengikuti khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
sunnahnya di antara mereka melainkan mereka dinamakan Ahlus Sunnah.” (At
Tafshir Fiddin oleh Al Isfirayini halaman 167)
Nama Al Jamaah memiliki beberapa
pengertian :
1. Jama’atul Muslimin, yakni mereka (kaum
Muslimin) yang berada di atas sesuatu yang Rasulullah dan para shahabatnya
berada di atasnya. Sebagaimana yang telah disebutkan pada sebagian hadits
seperti hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“ … engkau berpegang dengan Jamaatul
Muslimin dan imam mereka … .” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Sesuatu yang mencocoki Al Haq.
Hal ini seperti yang diucapkan oleh
Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah :
“Al Jamaah adalah sesuatu yang
mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al
Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its
‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab
Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)
Abu Syamah dalam kitabnya menguatkan
pengertian kedua ini dengan perkataannya : “Sebagaimana telah datang perintah
untuk berpegang dengan Al Jama’ah maka yang dimaksudkan dengannya adalah
berpegang kepada Al Haq dan mengikutinya walaupun sendirian sedangkan yang
menyelisihinya banyak. Hal itu dikarenakan Al Haq itu adalah sesuatu yang
berada di atasnya jamaah pertama dari masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dan para shahabatnya. Tidak dapat dipandang dari banyaknya ahlul bathil setelah
mereka.”
Beliau berkata : “Sesuatu yang
mencocoki Al Haq pada permasalahan aqidah saja yang telah menyimpang darinya
para ahlul bid’ah. Oleh karena itu kita dapati Abu Hanifah memberi makna Al
Jama’ah dengan pengertian seperti ini.” (Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal
Hawaadits halaman 22)
3. Al Jamaah adalah jika engkau
mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan kemudian Utsman[6]. Engkau
tidak menganggap kurang dari salah seorang dari shahabat Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula mengkafirkan manusia (kaum Muslimin) dengan
perbuatan dosanya. Engkau menshalatkan orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah dan shalat di belakang mereka serta yang mengusap kedua khuf-nya
(ketika berwudhu) … . (Al Intiqa’ fi Fadli Tsalasati ‘Aimmatil Fuqaha oleh Ibnu
Abdil Bar halaman 163-164)
4. Bermakna jamaah kaum Muslimin
yang mana mereka berkumpul di bawah satu amir[7]. Makna ini
sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Thabari dalam riwayatnya bahwasanya
‘Amar bin Huraits bertanya kepada Said bin Zaid : “Kapan Abu Bakar harus
dibaiat?” Beliau (Said bin Zaid) menjawab : “Pada hari meninggalnya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mana mereka (para shahabat) benci untuk
tinggal pada sebagian hari sedangkan mereka tidak dalam keadaan berjamaah.”
(Tarikh Ath Thabary halaman 2/447)
5. Al Jamaah juga berarti berpegang
teguh dengan tali Allah secara berjamaah, tidak berpecah dan berselisih. Hal
ini disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ali radliyallahu 'anhu, ia berkata :
“Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang kamu tetapkan. Sesungguhnya
aku benci perselisihan hingga manusia menjadi berjamaah.” (Riwayat Bukhari
dalam Shahih-nya dan Fathul Bari 7/17)
Ibnu Hajar berkata : “Perkataan
(sesungguhnya aku membenci perselisihan) maksudnya adalah perselisihan yang membawa
kepada pertentangan.” Ibnu Tin berkata : “Yaitu menyelisihi Abu Bakar dan
Umar.” Sebagian yang lain berkata : “Perselisihan yang membawa pada
pertentangan dan fitnah.” Hal ini dikuatkan pula dengan perkataannya yang
selanjutnya : “Hingga manusia berjamaah.” (Fathul Bary oleh Ibnu Hajar 7/73)
Makna jamaah yang seperti ini pernah
terjadi pada tahun ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan jabatannya
sebagai khalifah sepenuhnya kepada Mu’awiyah --semoga Allah meridhai
keduanya--. Sehingga tahun tersebut dinamakan Tahun Al Jamaah. Ibnu Baththal
berkata : “Hasan menyerahkan urusan (kekhalifahannya) kepada Mu’awiyah dan
membaiatnya atas dasar menegakkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Mu’awiyah pun
akhirnya memasuki Kufah dan manusia pun membaiatnya. Oleh karena itu
dinamakanlah (tahun tersebut) dengan Tahun Al Jamaah karena manusia bersatu dan
perang berhenti[8].” (Tarikh Khalifah bin Khayath halaman 203 dan
Ma’almu As Sunnan oleh Khathaby 4/311)
Mengenai sebab penamaan Ahlus Sunnah
dengan Al Jamaah, Imam Abdul Qaahir Al Baghdaady rahimahullah berkata :
“Bahwasanya Ahlus Sunnah sebagiannya tidak mengkafirkan kepada sebagian yang
lain. Dan tidak ada di antara mereka perselisihan yang menimbulkan sikap bara’
(berlepas diri di antara mereka) dan tidak pula pengkafiran (sesama mereka).
Jadi, merekalah Ahlul Jamaah yang menegakkan Al Haq dan (oleh karena itu mereka
dinamakan) Ahlul Haq. Mereka tidak terjatuh ke dalam perselisihan dan
pertentangan. Tidak ada satu kelompok pun dari kelompok yang menyelisihi sunnah
melainkan pasti terjadi di antara mereka pengkafiran sebagian mereka terhadap
sebagian yang lain dan berlepas diri sebagian mereka terhadap sebagian yang
lain. Kelompok-kelompok tersebut seperti Khawarij, Rawafid, Qadariyah, dan
lain-lainnya. Sehingga apabila berkumpul tujuh orang dari mereka pada satu
majelis niscaya mereka berpecah-belah karena pengkafiran sebagian mereka kepada
sebagian yang lain[9].”
Ibnu Taimiyyah berkata : “ … (Ahlus
Sunnah) dinamakan Ahlul Jamaah karena Al Jamaah adalah berkumpul sedangkan
kebalikannya adlah berpecah walaupun terkadang lafadz Al Jamaah menjadi satu
makna untuk suatu kaum yang berkumpul. Dan ijma’ adalah dasar yang ketiga yang
dipegang atasnya dalam permasalahan ilmu dan Dien.”
Ahlus Sunnah mengukur dengan tiga
dasar ini (Quran, Sunnah, dan Ijma’) seluruh perkataan dan perbuatan manusia,
baik lahir maupun bathin yang mempunyai hubungan/kaitan dengan Dien[10].
Dari perkataan Ibnu Taimiyyah di
atas dapat diambil pengertian bahwa Ahlus Sunnah dinamakan Ahlul Jamaah karena
mereka berkumpul di atas Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, dan apa-apa yang disepakati oleh Salafus Shalih[11].
Dengan beberapa keterangan tentang
makna Ahlus Sunnah wal Jamaah di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ahlus
Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya dalam seluruh perkara yang
berkaitan dengan Dien dan mereka berkumpul di atas Sunnah tersebut. Wallahu
A’lam Bis Shawab.
Sejarah Munculnya Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah
Yang kami maksudkan dalam hal ini
adalah sejarah terjadinya pembedaan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari berbagai
nama kelompok-kelompok ahlul bid’ah wal firqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata :
[ Jalan mereka (Ahlus Sunnah) adalah
Dienul Islam yang Allah utus dengannya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Akan tetapi tatkala Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengkhabarkan
bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan yang seluruhnya di dalam neraka
kecuali satu golongan --yakni Al Jamaah-- atau dalam hadits yang lain beliau
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Mereka adalah orang yang seperti
aku dan para shahabatku pada hari ini.”
Jadilah orang yang berpegang dengan
Islam, bersih dari berbagai macam campuran (pemikiran yang sesat) sebagai Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Di antara mereka ada orang-orang yang shiddiq (jujur), para
syuhada, dan orang-orang shalih[12]. Perkataan Ibnu Taimiyyah ini
menunjukkan bahwa awal terjadinya penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah
ketika terjadinya perpecahan sebagaimana yang dikhabarkan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Karena sebelum terjadinya perpecahan tidak ada
istilah-istilah itu sedikitpun, baik istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah,
Khawarij, dan lain-lain. Pada saat itu kaum Muslimin seluruhnya berada di atas
Dien dan pemahaman yang satu yaitu Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
“Sesungguhnya agama (yang diridlai)
di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran : 19)
Orang yang berpegang teguh dengan
Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Al Jamaah pada mulanya
tidak membutuhkan untuk membedakan diri dengan memakai nama tertentu. Karena
mereka berpegang pada pemahaman yang pertama dan benar di dalam Islam sedangkan
yang terpisah dari mereka adalah orang yang menyelisihi Sunnah. Menurut kaidah,
sesuatu yang asal (pertama) tidak membutuhkan pada sesuatu yang dapat
membedakan dia dari yang lain. Akan tetapi yang butuh pada sesuatu yang dapat
membedakan diri dari yang lain adalah sesuatu yang sudah menjadi cabang dari
yang asal (pertama tersebut). Sehingga dengan demikian perkara cabang itu
menjadi masyhur dengan sesuatu yang membedakan dia dari yang lain. Seperti
inilah keadaan ahlul bid’ah yang telah menyimpang dari Sunnah. Ia masyhur
dengan nama yang menunjukan kepada kebid’ahan dan penyimpangannya dari Sunnah.
Hal ini terjadi tatkala timbulnya berbagai macam perselisihan dan perpecahan.
Pada saat itulah dimunculkannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang pada mulanya
nama itu tidak pernah disebutkan. ]
Imam Malik rahimahullah ketika
ditanya tentang Ahlus Sunnah beliau menjawab dengan mengatakan :
“Ahlus Sunnah adalah orang-orang
yang tidak memiliki laqab (gelar tertentu) yang mereka dikenal dengannya.
(Mereka) bukanlah Jahmiyyun (pengikut pemahaman Jahmiyah) bukan Qadariyyun
(pengikut pemahaman Qadariyah) dan bukan pula Rafidliyyun (pengikut pemahaman
Syiah Rafidlah).” (Al Intiqa Ibnu Abdil Barr halaman 35)
Dari sini kita sepakat dengan apa
yang telah dikatakan oleh Doktor Mustafa Hilmy :
“Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah
pelanjut pemahaman kaum Muslimin pertama yang ditinggalkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam keadaan beliau ridha terhadap mereka
sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan (munculnya mereka) yang
kita bisa berhenti padanya sebagaimana yang dapat kita lakukan pada
kelompok-kelompok yang lain. Tidak ada tempat (bagi kita) untuk menanyakan
tentang (sejarah) munculnya Ahlus Sunnah seperti halnya jika kita bertanya
tentang (sejarah) munculnya kelompok-kelompok yang lain.” (Nidzhamul Khilafah
Fi Fikratil Islam halaman 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
di dalam Kitabnya, Minhaju As Sunnah :
“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah madzhab yang terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah menciptakan Imam
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ia adalah madzhab para shahabat yang
diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yang menyelisihi (madzhab) tersebut maka
dia adalah ahlul bid’ah menurut (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
(Minhaju As Sunnah 2/482, tahqiq Muhammad Rasyad Salim)
Dari penjelesan di atas dapat kita
pahami bahwa pertanyaan tentang sejarah timbulnya pemahaman Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah pertanyaan yang tidak dapat dibenarkan. Hal itu berbeda
keadaannya dengan kelompok-kelompok yang menyimpang dari Sunnah. Pertanyaan
yang benar dalam masalah ini adalah pertanyaan tentang awal mula timbulnya
penamaan madzhab ini dengan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebenarnya asal
penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah bagi mereka yang mengikuti Sunnah dan
berpegang dengan Al Jamaah telah ada pada nash-nash yang memerintahkan untuk
senantiasa mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengan Jamaah. Nama Ahlus
Sunnah wal Jamaah juga terdapat di dalam Sunnah dan perkataan para Salaf.
Jadi yang kami maksudkan dengan
sejarah timbulnya penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah di sini adalah sejarah mulai
dimunculkan dan disebarluaskannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai
satu-satunya madzhab yang bersih dari kesesatan bukan sejarah mulai dibuatnya
pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah[13] dan digunakannya nama
tersebut. Kami berharap dengan adanya keterangan-keterangan di atas akan
semakin jelas kesalahan orang yang menganggap bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah kelompok tertentu dan termasuk dakwah hizbiyyah.
Hakikat Dakwah Hizbiyyah
Pada uraian berikut ini akan kami
jelaskan tentang hakekat dakwah hizbiyah dan perbedaannya dengan dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu mereka
yang berpegang teguh pada Sunnah dan Jamaah di mana sejarah mulai disebarluaskannya
nama tersebut ketika timbulnya berbagai macam perpecahan dan perselisihan.
Sedangkan dakwah hizbiyah adalah dakwah yang mengajak pada kelompok atau
golongan tertentu yang menyimpang dari Sunnah dan manhaj yang shahih yang
ditinggalkan oleh Salaful Shalih.
Para da’i yang mengajak untuk
mengikuti manhaj Ahlus Sun
nah wal Jamaah adalah para da’i yang
mengajak umat untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salafus
Shalih bukan mengajak kepada kelompok atau golongan tertentu yang menyimpang
dari Sunnah dan manhaj yang shahih. Digunakannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah dalam rangka membedakan dari berbagai kelompok dan golongan sesat yang
menyimpang dari Sunnah. Nama ini bukan nama yang dibuat untuk suatu kelompok
atau aliran tertentu yang telah menyempal dari Sunnah.
Akan tetapi banyak dari orang-orang
jahil yang menuduh dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah hizbiyah. Mereka menuduh
para da’i Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak kepada Sunnah, mencintai Ahlus
Sunnah, dan menjauhi bid’ah serta membenci ahlul bid’ah adalah para da’i yang
mengajak kepada hizbiyah. Menurut orang-orang jahil tersebut, Ahlus Sunnah
hanya menganjurkan kaum Muslimin untuk mengikuti dakwahnya saja dengan
meninggalkan dakwah lainnya yang masih merupakan dakwah Islamiyah. Di samping
itu --menurut mereka-- para da’i tersebut mengikat pengikutnya untuk belajar
hanya kepadanya saja dan tidak boleh belajar kepada para da’i lain yang berbeda
manhaj dengan mereka.
Tuduhan-tuduhan seperti ini sering
muncul dari mulut-mulut orang yang benci kepada da’i Ahlus Sunnah wal Jamaah
yang bermanhaj Salaf yang mengajak kaum Muslimin berpegang teguh pada Sunnah
dan menjauhi bid’ah serta mencintai Ahlus Sunnah dan membenci ahlul bid’ah.
Tuduhan ini sebenarnya timbul hanya karena semata-mata mereka merasa dirugikan
baik dari segi pribadi atau dakwah dan kelompoknya. Pribadi-pribadi mereka
merasa dirugikan karena ia tidak akan mendapatkan atau paling tidak akan
berkurang pengikutnya yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi ambisi hawa
nafsunya yang disembunyikan di balik nama Islam. Sedangkan kelompok mereka
merasa dirugikan karena banyak kaum Muslimin yang akan lari dari dakwah dan
kelompok mereka disebabkan adanya para da’i Ahlus Sunnah yang memberikan
peringatan agar berhati-hati dari dakwah dan kelompok yang telah menyempal dari
Sunnah. Mereka yang melancarkan tuduhan seperti di atas tidak lain adalah para
hizbiyyun (orang-orang yang terkena penyakit hizbiyah/fanatik golongan). Para
hizbiyun tersebut terdiri dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh,
Hizbut Tahrir, NII dan kelompok sempalan yang lainnya.
Oleh karena itu perlu kiranya
diterangkan tentang bagaimana sebenarnya hakekat dakwah hizbiyah agar jelas
mana dakwah hizbiyah dan mana yang tidak hizbiyah di antara sekian banyak
dakwah yang ada sekarang ini. Hal ini mengingat sangat rancunya permasalan
tersebut pada kebanyakan kaum Muslimin sehingga muncullah berbagai tuduhan
seperti di atas terhadap dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak umat
untuk berpegang teguh dengan Sunnah.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi
timbul pula tuduhan dari sebagian da’i yang mengaku bermanhaj Salaf karena
banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran bid’ah Ikhwaniyyah. Mereka menuduh
bahwa para da’i Ahlus Sunnah yang bermanhaj Salaf yang selalu men-tahdzir
(memperingatkan) umat dari bahaya pemikiran para da’i yang tidak paham manhaj
Salaf yang akan dapat menjauhkan umat dari shiratal mustaqim serta menjauhkan
umat dari para da’i yang mengajak ke neraka Jahannam dengan cara melarang duduk
bermajelis mengambil ilmu dari mereka[14] sebagai da’i yang mengajak
sebagai da’i yang mengajak kepada hizbiyah (fanatik golongan) dan mengajarkan
taklid. Mereka juga menuduh para pengikutnya sebagai orang-orang yang muqallid.
Wallahul Musta’an.
Wahai saudaraku kaum Muslimin,
--semoga Allah merahmati dan menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus--
ketahuilah! Jalan yang selamat itu adalah dengan mengikuti Al Quran dan As
Sunnah. Hal ini adalah suatu perkara yang sudah maklum di kalangan kaum
Muslimin kecuali orang-orang yang Allah palingkan hatinya, baik mereka yang
masih mengaku sebagai Muslim atau tidak. Di dalam Al Quran terlalu banyak dalil
yang menunjukkan keharusan bagi kita mengikuti petunjuk Al Quran dan As Sunnah
demikian pula dalam hadits-hadits yang shahih serta parkataan para ulama[15].
Hanya saja kebanyakan kaum Muslimin --terlebih lagi pada masa sekarang ini--
kebingungan dalam mencari jalan yang benar dalam memahami Al Quran dan As
Sunnah.
Mereka akhirnya terjerumus ke dalam
berbagai jalan yang sesat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Namun
Alhamdulillah dengan segala hidayah dan rahmat-Nya Allah senantiasa
membangkitkan di kalangan umat ini pada setiap masanya orang-orang yang akan
selalu membela Dien-nya, mengajak umat untuk kembali kepada jalan-Nya dan
membimbing umat untuk selalu mengikuti satu jalan yang benar dalam memahami Al
Quran dan As Sunnah[16]. Mereka terdiri dari para shahabat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di antaranya Khulafaur Rasyidin Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu 'anhum kemudian para tabi’in, tabi’ut
tabi’in, para Aimmatul Huda (imam-imam yang mendapatkan petunjuk) dan para
ulama Ahlus Sunnah pada setiap masa.
Mereka mengajarkan kepada umat ini
satu jalan yang selamat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah.
Jalan itu adalah Sabilul Mukminin
(jalannya kaum Mukminin) yakni jalan para shahabat dan generasi awal dari umat
ini dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Jalan yang selamat ini yang diterima
oleh Salaful Shalih tersebut dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Di
atas jalan inilah mereka menegakkan Al Wala’ (loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas
diri). Sedangkan orang-orang yang menyimpang dari jalan ini adalah orang-orang
yang binasa, mereka menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’-nya di atas jalan
kesesatan yang mereka terjerumus di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman :
“Barangsiapa yang mendurhakai Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Pada ayat ini Allah mengancam kepada
orang-orang yang mendurhakai Rasul dan yang menyimpang dari jalannya kaum
Mukminin yakni para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Hal itu
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam sebuah
ceramahnya yang dikumpulkan dalam Muhadlarat fi Dakwah Salafiyah dengan ancaman
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memalingkan mereka ke jalan yang sesat
sehingga sulit baginya untuk keluar dari jalan tersebut. Kemudian Allah akan
memasukkan dia ke neraka Jahannam sedangkan Jahannam itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali[17].
Demikianlah semakin jelas betapa
pentingnya mengikuti jalan kaum Mukminin tersebut sebagaimana yang telah
diajarkan oleh para ulama Ahlul Hadits kepada umat ini[18]. Kaum
Muslimin yang ingin terlepas dari kebingungan hendaknya memilih jalan yang
tepat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah, harus mengikuti jalan yang selamat
ini yakni Sabilul Mukminin. Atas dasar ini pulalah ditegakkannya dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah hingga Dien ini benar-benar seluruhnya untuk Allah dengan
tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan pemahaman para
shahabatnya radliyallahu 'anhum.
Jika tidak demikian berarti Dien ini
tidak diserahkan seluruhnya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala karena mereka hanya
berdien menurut akal dan hawa nafsunya masing-masing, tidak dengan syari’at
yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
dengan pemahaman para shahabatnya radliyallahu 'anhu. Akhirnya masing-masing
kaum (yang berpecah dan berselisih itu) memiliki sesuatu yang mana mereka
membedakan dirinya dari yang lainnya seperti (pemimpin) yang diagungkan dan
dikultuskan, sesembahan yang tidak Allah perintahkan untuk mengibadahi dan
mentaatinya atau suatu pendapat yang mereka ada-adakan sedangkan Allah tidak
mengizinkan dan tidak mensyari’atkannya. (Jami’u Ar Rasaail oleh Ibnu Taimiyah,
tahqiq Muhammad Rasyad Salim 2/230)
Selanjutnya masing-masing kelompok
tersebut bangga dengan apa yang ada di sisinya sebagaimana firman-Nya :
“Yaitu orang-orang yang memecah
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum : 32)
Mereka menegakkan Al Wala’ dan Al
Bara’ di atas sesuatu yang ada pada kelompoknya masing- masing. Oleh karena itu
mereka hanya ber-wala’ kepada orang yang simpati atau para pengikut kelompoknya
dan mereka ber-bara’ dari setiap orang yang tidak mengikuti kelompoknya.
Sesuatu yang mereka bangga-banggakan itu di antaranya adalah pemimpin-pemimpin
yang mereka berdien dengan pendapatnya sekalipun pendapatnya itu adalah bid’ah.
Masing-masing kelompok senantiasa
menyandarkan berbagai macam pujian dan sanjungan kepada pemimpin kelompoknya
tersebut meskipun pemimpin-pemimpin mereka adalah orang yang bodoh dan tidak
kuat dalam masalah ilmu. (Tanbih Ulil Abshar karya As Suhaimiy halaman 253)
Setiap kelompok yang membanggakan
pemimpinnya dan hanya berdien dengannya akan menjadikan seluruh pendapat
pemimpinnya itu sebagai landasan dalam mengukur kebenaran segala sesuatu.
Mereka akan menggunakan akal serta pemikirannya untuk membela pendapat
(pemimpinnya) tersebut dengan cara mencarikan pendukung dari tiap-tiap kitab
dan karangan yang dahulu maupun sekarang. Padahal yang wajib untuk dijadikan
sebagai landasan untuk mengukur kebenaran segala sesuatu adalah Al Kitab dan As
Sunnah. Kemudian mencocokkan pendapat para syaikh dan pemimpin tersebut
kepadanya (Al Kitab dan As Sunnah). (Ath Thaifah fi Bara’ati Ahlis Sunnah Abdul
Aziz Al Utaiby halaman 11)
Masing-masing kelompok memiliki
nama-nama yang mereka jadikan ukuran untuk mengukur benar atau salah dan dasar
untuk saling tolong menolong serta bela membela. Mereka juga saling panggil memanggil
dengan nama-nama tersebut sehingga mereka terjatuh dalam panggilan-panggilan
jahiliyah. Ibnul Qayyim berkata :
“(Panggilan-panggilan jahiliyah itu)
adalah seperti panggilan (yang menunjukkan pembelaan) kepada suku-suku, fanatik
kepada seseorang, fanatik terhadap madzhab-madzhab, kelompok- kelompok atau
golongan-golongannya, pemimpin-pemimpin, (panggilan yang menunjukkan)
pengutamaan sebagian orang dari sebagian yang lain dengan dasar hawa nafsu dan
kefanatikan.
Dan keadaannya (seseorang) menisbahkan
diri pada sesuatu menyeru dan mengajak kepada hal yang demikian. Dia ber-wala’
atas dasar hal itu (hawa nafsu/kefanatikan) demikian pula (keadaannya) ketika
dia memusuhi. Mereka juga menimbang/mengukur manusia dengannya (yakni dengan
hawa nafsu dan kefanatikan). Maka seluruhnya ini termasuk panggilan-panggilan
jahiliyyah[19].” (Dinukil oleh Sulaiman bin Abdullah Alu Asy Syaikh
di dalam Taysirul Azizil Hamid halaman 515)
Dari beberapa keterangan di atas
kiranya cukup menjelaskan apakah hakikat dakwah hizbiyyah. Yang semua itu
timbul akibat penyimpangan dari dakwah Ahlus Sunnah dan mengikuti Sabilul
Mukminin. Jadi dapat kita simpulkan dari keterangan di atas bahwa hakikat
dakwah hizbiyyah adalah :
1. Dakwah yang mengajak kepada satu
kelompok atau golongan yang menyimpang dari Sabilul Mukminin.
2. Dakwah yang dipimpin oleh seorang
pimpinan atau syaikh yang memiliki pendapat-pendapat bid’ah dan dengannya
dakwah tersebut membedakan diri dari dakwah-dakwah yang lain.
3. Dakwah yang membanggakan para
pimpinannya yang mengajak mereka menyimpang dari Sabilul Mukminin. Dakwah
tersebut dalam menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’ didasarkan cinta kepada
pimpinannya. Mereka ber-wala’ kepada orang yang sepaham dengannya dalam
mengikuti para pemimpin itu dan bara’ kepada orang yang tidak sepaham dengannya
dalam mengikuti pemimpin itu. Akhirnya para pengikut dakwah hizbiyyah ini
mengambil seluruh pendapat pemimpinnya tanpa memperhatikan benar salahnya
pendapat tersebut menurut Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Apabila
mereka mendapatkan pendapat bid’ah pemimpin-pemimpin mereka, mereka akan
berusaha mencari berbagai macam alasan agar tetap bisa berpegang kepada
pendapat tersebut. Kemudian mereka menyandarkan berbagai macam pujian kepada
pimpinannnya walaupun pimpinannya adalah orang-orang yang bodoh dan tidak
berilmu dengan ilmu yang shahih dan kokoh.
4. Dakwah yang memiliki nama
tertentu bagi kelompoknya yang dengannya memisahkan diri dari yang lainnya
kemudian mereka fanatik dengan nama tersebut dan menjadikannya sebagai landasan
kebenaran tolong menolong serta bela membela.
Dakwah-dakwah hizbiyyah biasanya
memang memiliki nama-nama tertentu dan masing- masingnya terkenal dengan
nama-nama tersebut. Mereka saling panggil memanggil dengan panggilan seperti
panggilan yang dilakukan oleh orang Arab terhadap suku-suku mereka pada jaman
jahiliyyah ketika terjadi perselisihan di antara mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
seorang laki-laki yang suka bercanda dari kalangan Muhajirin memukul dubur
seorang shahabat dari kalangan Anshar hingga shahabat Anshar ini menjadi sangat
marah kepadanya. Akhirnya berakibat masing-masing shahabat tersebut memanggil
kelompoknya. Shahabat Anshar menyeru kelompoknya dengan berkata : “Wahai (kaum)
Anshar.” Sedangkan shahabat Muhajirin berkata : “Wahai (kaum) Muhajirin.”
(Setelah mendengar hal ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam keluar seraya
bersabda : “Ada apa dengan panggilan jahiliyyah ini? Apa urusan mereka?”
Kemudian diceritakanlah kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kejadian
seorang Muhajirin memukul pantat seorang Anshar. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda : “Tinggalkan oleh kalian panggilan-panggilan jahiliyah itu
karena sesungguhnya panggilan itu adalah (panggilan) yang jelek.” (HR. Bukhari)
Wahai saudaraku kaum Muslimin!
Inilah beberapa point tentang hakekat dakwah hizbiyah. Betapa bedanya dakwah
Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan dakwah hizbiyah, ibarat putih dengan hitam.
Pada satu sisi dakwah Ahlus Sunnah
wal Jamaah menyeru untuk mengikuti Sabilul Mukminun di bawah bimbingan para
ulama Ahlul Hadits yang mengajarkan hujjah yang kuat dari Al Quran dan As
Sunnah dengan keyakinan bahwa para ulama tersebut tidaklah makshum seperti
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jika mereka mendapatkan pendapat ulama
tersebut menyimpang dari Sabilul Mukminin maka mereka siap untuk
meninggalkannya. Imam Malik rahimahullah berkata :
“Setiap manusia dapat diambil
perkataannya dan dapat dibuang kecuali pemilik kubur ini.” Seraya memberikan
isyarat ke kubur Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[20].
Dakwah Ahlus Sunnah meletakkan dasar
Al Wala’ dan Al Bara’ di atas Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf
bukan di didasarkan pada fanatik terhadap golongan (kelompok dan pemimpinnya)
masing-masing. Dakwah ini juga tidak memiliki nama-nama tertentu melainkan
hanya Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al Firqatun Najiyah, Ath Thaifah Al Manshurah,
As Salaf (yakni dakwah Salafiyah), Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, Al Jamaah,
Jamaatul Muslimin. Seluruh nama-nama ini dinisbatkan oleh para ulama Ahlul
Hadits dari beberapa riwayat yang shahih tentang perpecahan umat untuk
menjelaskan tentang satu kelompok yang selamat dari mereka yaitu Al Jamaah yang
mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya
serta beberapa riwayat tentang keutamaan Salafus Shalih. Di antaranya adalah
hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Penisbatan itu juga
diambil dari penjelasan tentang adanya kelompok kecil (umat Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) yang akan ditolong dan selalu membela kebenaran
hingga hari kiamat di antaranya hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah
dinisbatkan dengan nama-nama di atas agar dapat dibedakan dari berbagai
dakwah-dakwah sesat yang menyempal dari Sunnah di mana dakwah- dakwah sesat
tersebut juga mempunyai nama-nama yang mereka fanatik dengan kelompok/golongan
dan pemimpin mereka. Seperti syiah rafidlah, jahmiyah, mu’tazilah, sufiyah atau
nama kelompok hizbiyah yang sekarang seperti ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh,
hizbut tahrir, NII, Islam jamaah dan lain-lain.
Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid
berkata dalam Kitabnya Hukmul Intima’ :
[ Nama-nama (Ahlus Sunnah) yang
mulia ini berbeda dengan berbagai nama yang dimiliki oleh kelompok/golongan
mana saja. Hal itu dapat ditinjau dari beberapa segi :
1. Nama-nama yang diberikan pada
Ahlus Sunnah itu adalah penisbatan yang tidak pernah terpisah sedikit pun dari
kaum Muslimin semenjak terbentuknya di atas Manhaj Nubuwah. Nama- nama itu
mencakup seluruh kaum Muslimin yang berada di atas jalan generasi awal (yakni
Salafus Shalih) dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil ilmu,
cara memahaminya dan metode dakwah kepadanya (ilmu).
2. Nama-nama tersebut tidak memiliki
bentuk khusus yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam bentuk
penambahan atau pengurangan.
3. Nama-nama tersebut adalah gelar
yang di antaranya telah tsabit (tetap) di dalam sunnah yang shahihah. Nama-nama
ini disebutkan dalam menghadapi manhaj-manhaj Ahlul Ahwa dan kelompok yang
sesat untuk membantah bid’ah-bid’ah mereka, membedakan dirinya dari mereka,
menjauhi pergaulan dari mereka dan menyelisihi mereka. Oleh karena itulah
tatkala muncul berbagai bid’ah maka kaum Ahlus Sunnah menampakkan dirinya
dengan Sunnah. Tatkala ra’yu (rasio/akal) dijadikan landasan hukum, mereka
membedakan dirinya dengan berpegang pada hadits dan atsar. Dan tatkala
tersebarnya bid’ah dan hawa nafsu dari para khalaf, mereka membedakan dirinya
dengan berpegang pada Hadyus Salaf (bimbingan Salaf). Demikianlah seterusnya.
4. Ikatan Al Wala’ dan Al Bara’,
saling mencintai dan memusuhi bagi mereka adalah berdasarkan Islam tidak dengan
yang lainnya. Mereka tidak menyandarkannya pada suatu hizb dengan nama- nama
tertentu dan tidak pula memiliki batasan-batasan hizb-nya masing-masing
melainkan pada Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
5. Nama-nama ini tidak mengajak umat
untuk ber-ta’assub (fanatik) terhadap seseorang pun selain Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
jilid 3/346-347 berkata : “Oleh karena itulah dia mensifatkan Al Firqatu An
Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah Al Jumhurul Akbar dan As
Sawadul A’zham.”
6. Nama-nama ini tidak menjerumuskan
pada bid’ah, maksiat dan tidak pula ashabiyah (sifat fanatik) terhadap orang
dan kelompok tertentu[21].
Demikianlah keadaan dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah. ]
Pada sisi yang lain, dakwah hizbiyah
merupakan kebalikan dari dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana yang telah
kami jelaskan pada point hakekat dakwah hizbiyah. Wallahu Al Musta’an.
Jalan Keluar Dari Dakwah Hizbiyah
Timbulnya berbagai macam dakwah
hizbiyah adalah akibat menyimpang dari Sunnah dan terjatuhnya mereka ke dalam
bid’ah. Hal ini terlihat ketika munculnya golongan sesat yang membawa pemikiran
bid’ah dimulai dari syiah rafidlah, khawarij, qadariyah, jabariyah dan yang
lainnya. Pada saat itu muncul dakwah yang mengajak untuk mengikuti golongan
sesat yang memiliki pemikiran bid’ah tadi dan menyimpang dari Sunnah.
Keadaan ini terus berlanjut hingga
masa kita sekarang ini. Oleh karena itu tidak ada jalan keluar dari dakwah
hizbiyah melainkan mengembalikannya pada Sabilul Mukminin yaitu Al Quran dan As
Sunnah dengan pemahaman Salaf. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memimpin kalian)
seorang budak Habsyi. Barangsiapa di antara kalian hidup (setelahku) maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian mengada-adakan
perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya hal itu adalah sesat.
Barangsiapa yang mendapatkan keadaan demikian di antara kamu maka wajib atasnya
berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, gigitlah oleh
kamu sekalian (Sunnah-Sunnah) tersebut dengan gigi gerahammu.” (HR. Turmudzi,
Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang selain mereka, lihat Shahih Turmudzi 2/341-342)
Ibnu Qudamah setelah menyebutkan
beberapa dalil dalam masalah kewajiban mengikuti Salafus Shalih mengatakan
dalam kitabnya :
“Telah tetap kewajiban mengikuti
para Salaf rahimahullah dengan (dalil) Al Quran, Sunnah, dan ijma[22].”
Selanjutnya beliau berkata :
“Jadi sesungguhnya satu-satunya
jalan untuk terlepas dari bid’ah dan atsar-atsar yang jelek adalah dengan
berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunnah, baik dalam bentuk keyakinan, ilmu
ataupun amal[23].”
Semua itu dengan bimbingan Salaf,
pemahaman dan manhaj serta praktek mereka terhadap dua wahyu yang mulia (Al
Quran dan As Sunnah). Dengan demikian mereka adalah orang yang paling besar
kecintaannya pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, paling kuat
mengikuti beliau, paling banyak keinginannya (untuk itu) dan paling dalam ilmu
dan luas pengetahuannya[24].
Jalan keluar dari hizbiyah seperti
yang disebutkan di sini sebenarnya adalah jalan yang mudah dan gampang bagi
orang yang Allah mudahkan baginya untuk mengikuti Al Haq. Akan tetapi hal ini
membutuhkan kesungguhan untuk berilmu dan berdakwah kepadanya. Saling bahu
membahu dan tolong-menolong dengan landasan rasa cinta dan persaudaraan di atas
Sunnah untuk menjalaninya dan menjauhkan diri dari berbagai macam penyakit
hizbiyah (fanatik terhadap golongan/kelompok yang menyempal dari Sunnah) di
dalam mengikutinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah :
“Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan.” (QS. Al Maidah : 2)
Penutup
Kami sebagai Muslim Sunny Salafy[25]
mengajak kepada saudara-saudaraku sesama Muslim dalam rangka memberikan
nasehat kepada mereka untuk senantiasa kembali kepada yang hak, dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah dan meninggalkan dakwah-dakwah hizbiyyah yang akan membuat
kita semua menyimpang dari jalan yang lurus yang telah digariskan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Salafus Shalih radliyallahu 'anhum.
Ketahuilah! Dakwah-dakwah hizbiyyah
itu adalah jalan-jalan setan yang akan menjauhkan kita dari Sabilul Mukminin[26]
dan menjerumuskan kita ke dalam lubang perpecahan dan perselisihan karena
setiap dakwah yang menyimpang dari Sabilul Mukminin merupakan penyebab
perpecahan dan perselisihan walaupun yang mengikuti dakwah tersebut banyak dan
berkumpul dalam satu organisasi, satu perkumpulan, satu tandhim (peraturan)
atau satu negeri dan selalu mendengungkan persatuan. Akan tetapi sebaliknya
dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang lurus karena ditegakkan di
atas hujjah yang kokoh yang datang dari Allah yakni Al Quran dan As Sunnah
dengan pemahaman Salaf. Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang
mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) lawan dari Al Firqah (perpecahan) atas
dasar berpegang teguh dengan tali Allah sekalipun orang yang mengikutinya hanya
satu atau beberapa orang dan tidak berada dalam satu organisasi, kumpulan,
tempat, tandhim atau satu negeri.
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud :
“Al Jamaah adalah apa-apa yang
mencocoki Al Haq walaupun kamu sendirian.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Al
Madkhal)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
“Jikalau Rabbmu menghendaki tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (QS. Huud :
118-119)
Berkata Imam Qatadah :
“Orang-orang yang dirahmati Allah
adalah Ahlul Jamaah meskipun terpisah negeri-negeri dan badan-badan mereka.
Sedangkan ahlul maksiat (orang-orang yang bermaksiat) kepada-Nya adalah ahlul
firqah walaupun berkumpul negeri-negeri dan badan-badan mereka[27].”
Jadi dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah
sebenarnya mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) atas dasar Al Haq dan menjauhi
perpecahan. Dengan ini pula berarti menunjukan kedustaan dakwah-dakwah
hizbiyyah seperti ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh dan lain-lain dalam ajakan
mereka untuk bersatu. Kalaupun seandainya mereka dapat mengumpulkan massa
kemudian mereka menamakannya dengan persatuan pada hakekatnya itu hanyalah
merupakan perpecahan dari Sabilul Mukminin dan merupakan persatuan dalam subul
(jalan jalan syaithan).
Dengan penjelasan di atas telah
terbantah seluruh tuduhan yang menyatakan bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah dakwah hizbiyyah karena Ahlus Sunnah mengajak kembali kepada Sunnah dan
bahkan memerangi hizbiyyah. Terbantah pula seluruh tuduhan terhadap para da’i
Salafy yang mengajak untuk mengikuti manhaj Salaf, memperingatkan umat agar
berhati-hati dari pemikiran-pemikiran ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj
Salaf dan dari para da’i yang tidak memahami manhaj Salaf dengan benar karena
seruan itu bukanlah menyeru kepada hizbiyyah.
Padahal mereka (para da’i Salafy)
bermaksud dengan dakwah mereka yang demikian adalah agar umat terlepas dari
belenggu-belenggu hizbiyyah yang telah dipasang oleh dakwah hizbiyyah.
Adapun tuduhan kepada para pengikut
da’i-da’i Salafy tadi bahwa mereka adalah para muqallid adalah tuduhan yang
keliru dan batil. Karena para pengikut da’i-da’i Salafy tadi mengikuti mereka
bukan semata-mata fanatik tetapi karena mereka berada di atas manhaj Salaf dan
jauh dari hizbiyyah. Justru orang-orang yang menuduh mereka muqallid itulah
sebenarnya para muqallid, fanatik buta terhadap para pemimpin mereka yang
menyimpang dari Sunnah. Para pengikut da’i- da’i Salafy tersebut tidak belajar
selain kepada mereka adalah untuk menjaga akal dan pikiran mereka agar tidak
dimasuki pemikiran bid’ah yang dilontarkan para ahlul bid’ah dan para da’i yang
tidak paham manhaj Salaf, bukan ingin menjadi muqallid. Wallahul Musta’an.
Para Salafus Shalih telah
mengajarkan kepada kaum Muslimin cara pengambilan ilmu sebagaimana telah
diriwayatkan di dalam Sunan Ad Darimi dari Abul Aliyah dia berkata :
[ Kami apabila mendatangi seorang
laki-laki untuk mengambil (ilmu) daripadanya maka kami melihat apabila dia
shalat. Maka apabila dia baik dalam shalatnya, kami duduk bersamanya (untuk
mengambil ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amal yang selainnya lebih baik.” Dan
apabila dia buruk dalam shalatnya, kami meninggalkannya (untuk tidak mengambil
ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amalan yang selainnya lebih buruk lagi.” ]
(Sunan Ad Darimi 1/93-94)
Ibrahim An Nakha’i rahimahullah
berkata :
“Mereka (Salafus Shalih) apabila
mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya maka mereka melihat
shalatnya, ittiba’-nya terhadap Sunnah dan keadaannya. Kemudian mereka
mengambil ilmu darinya.” (Dharuratul Ihtimam Abdus Salam bin Barjas halaman 12)
Inilah manhaj Salafus Shalih dalam
pengambilan ilmu. Hal ini juga telah mereka terapkan di dalam pengambilan
hadits. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu berkata :
[ Sesungguhnya kami dahulu apabila
mendengar seseorang berkata :
“Bersabda Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam.”
Maka pandangan-pandangan kami segera
tertuju kepadanya dan kami hadapkan telinga-telinga kami kepadanya. (Akan
tetapi) tatkala manusia dalam keadaan yang rusak dan hina maka kami tidak
menerima dari mereka kecuali apa yang kami ketahui. ]
Ibnu Sirin rahimahullah berkata :
[ Mereka dulunya tidak bertanya
tentang isnad (ketika menerima hadits). Maka tatkala terjadi fitnah, mereka
berkata (ketika menerima hadits) :
“Sebutkan rijal (perawi-perawi)nya
pada kami.”
Maka dilihat jika Ahlus Sunnah
diambil hadits mereka dan jika ahlul bid’ah tidak diambil hadits mereka. ]
(Muqadimah Shahih Muslim 1/13-15. Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Fi Naqdi
Ar Rijal DR. Rabi’ Al Madkhaly halaman 37)
Perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin
ini memberitahukan kepada kita bahwasanya hal ini adalah madzhab keumuman para
Salaf di masa terakhir para shahabat dan orang-orang sesudah mereka dari
kalangan tabi’in.
Karena adanya beberapa keterangan di
atas inilah orang-orang yang mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
belajar kepada para ahlul bid’ah dan para da’i yang telah menampakkan
penyimpangan mereka dari manhaj Salaf. Wallahu A’lam.
Maka dengan adanya tuduhan-tuduhan
di atas, saya menegaskan kembali bahwa seluruh tuduhan tersebut adalah tuduhan
yang muncul dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka hanya ingin
merongrong dakwah Salafiyah dengan cara membuat keraguan bagi umat terhadap kebenaran
dakwah Salafiyah dan menjatuhkan kepercayaan umat terhadap para da’inya dengan
tuduhan yang batil untuk menjelek-jelekkan mereka.
Hal ini mereka lakukan untuk
mengumbar hawa nafsu hizbiyyah mereka. Mereka lupa dengan prinsip persatuan
umat yang ada pada mereka yang melarang untuk saling menjelek-jelekkan di
antara kaum Muslimin yang berakibat timbulnya perpecahan serta mengajak untuk
saling mengakui keutamaan masing-masing dan saling memaafkan kesalahan
masing-masing walaupun kesalahan itu terdapat pada dasar-dasar dien. Akhirnya
karena lupa terhadap prinsip mereka ini, mereka menuduh para da’i Salafy dengan
tuduhan yang jelek karena dirasa bahwa para da’i itu merugikan hawa nafsu
mereka.
Akan tetapi anehnya mereka tidak
melakukan hal yang sama terhadap ahlul bid’ah bahkan mereka justru mengajak
untuk inshaf (adil menurut mereka) terhadapnya dengan menutup mata dari
kesesatan-kesesatannya dan menonjolkan kebaikan-kebaikannya serta mencari
beribu alasan untuk membelanya. Karena ahlul bid’ah tersebut menguntungkan hawa
nafsu mereka.
Bertaubatlah kepada Allah wahai para
penuduh-penuduh, pengumbar hawa nafsu yang tidak bertanggung jawab sebelum
datang ajal kalian dalam keadaan kalian berada di tepi jurang-jurang neraka
Jahannam. Kembalilah kepada dakwah Salafiyah! Dan tinggalkan seluruh penyakit
hizbiyyah! Apa yang memberatkan kalian untuk meninggalkan para pemimpin kalian
yang sesat itu? Apakah kalian tergiur dengan berbagai macam kesenangan dunia
yang mereka tawarkan? Maka jangan kalian ganti Dien ini dengan kesenangan dunia
yang menipu dan harga dirinya yang sedikit.
Apalah artinya dana yang berbentuk
uang atau kesenangan dunia yang menipu dan harga dunia yang sedikit jika
dibandingkan dengan pahala yang Allah janjikan bagi kaum Mukminin yang teguh di
atas kebenaran di akhirat nanti? Pahala yang berbentuk Surga yang penuh dengan
kesenangan dan kenikmatan yang tidak pernah dilihat dengan mata, tidak
terdengar dengan telinga, dan tidak pernah terbetik sedikitpun dalam hati
manusia selama di dunia. Maka kalau kalian masih memiliki akal yang sehat dan
fitrah yang suci, bersegeralah untuk menyelamatkan diri kalian dari adzab Allah
yang pedih yang kalian tidak akan sanggup menahannya sedikitpun. Tinggalkanlah
para pemimpin kalian terombang-ambing dalam kesesatan mereka karena kalian
tidak akan ditanya pada hari kiamat tentang kesesatan mereka.
Ya Allah Yang Maha Hidup dan
senantiasa mengurus para makhluk-Nya, Maha Pengampun lagi Penyayang, ampunilah
dosa-dosa kami dan perbaikilah amal-amal kami. Serta tunjukilah kami kepada
jalan yang Engkau ridlai. Amien ya Rabbal Alamien. Wallahu A’lamu bis Shawab.
________________________________________
[1] Lihat Al Hikmah Fi Dakwah
Ilallah. Sa’id Ibnu Ali bin Wahaf Al Qahthany halaman 117.
[2] Lihat Muhaadharah Fi Dakwah
Salafiyah. Syaikh Al Albany (Muhadharah yang kedua halaman 10).
[3] Lihat Ushulun Fil Bida’i was
Sunnan. Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16.
[4] Pembagian dien pada Ushul dan
Furu’ adalah pembagian yang bathil dan merupakan dasar dari dasar-dasar penyebab
sesatnya suatu kaum. Lihat Dlaruratu Al Ihtimam bi As Sunnani An Nabawiyah,
Abdus Salam Barjas halaman 110-118.
[5] Lihat pula Talbis Iblis karya
Ibnul Jauzi halaman 16-17.
[6] Imam Ibnu Abdil Izzi Al Hanafy
mengatakan dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, diriwayatkan dari Abu Hanifah
(tentang) pengutamaan Ali di atas Utsman padahal dhahir madzhabnya adalah
mengutamakan Utsman di atas Ali dan ini adalah pendapat kebanyakan Ahlus
Sunnah. (Syarh Aqidah Thahawiyah halaman 483)
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam fatwanya
: “Dan permasalahan ini --masalah pengutamaan antara Utsman dan Ali-- tidaklah
termasuk dari ushul-ushul (dasar-dasar) yang disesatkan orang yang menyelisihi
padanya. Akan tetapi masalah yang disesatkan orang yang menyelisihi padanya
adalah permasalahan Khilafah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman
153)
[7] Lihat Al I’tisham karya Imam
Syathibi jilid 2 halaman 264.
[8] Lihat Fathul Bary karya Ibnu
Hajar Al Asqalany jilid 13 halaman 63.
[9] Lihat Al Farqu bainal Firaq
karya Abdul Qahir bin Thahir Al Baghdady halaman 361.
[10] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah jilid 3 halaman 157.
[11] Disadur dari Kitab Mas’alat
Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syiah DR. Nashir bin Abdullah bin Ali Al Qaffary
halaman 23-24.
[12] Lihat Majmu’ Fatawa karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 3 halaman 159.
[13] Disadur dari Kitab Mas’alat
Taqrib Baina Ahlus Sunnah was Syi’ah oleh DR. Nashir bin Abdullah bin Ali Al
Qaffary halaman 35-43.
[14] Lihat sikap Salaf dalam masalah
ini dalam Kitab Ilmu Ushulul Bida’ karya Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al
Atsary, hal. 295-308.
[15] Lihat Salafy edisi perdana
rubrik Tafsir halaman 18-26.
[16] Hal ini seperti yang dikabarkan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Muslim, Ahmad, dan yang lain-lain tentang adanya Thaifah Al Manshurah yang akan
selalu membela kebenaran hingga datangnya hari kiamat.
[17] Lihat keterangan lebih lanjut
dalam masalah ini pada Salafy edisi 2 rubrik Tafsir halaman 32- 37.
[18] Para ulama Ahlul Hadits ini
adalah Ath Thaifah Al Manshurah yang akan selalu membela kebenaran sebagaimana
yang dikabarkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan lainnya. Pendapat
ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Yazid bin Harun, Ibnul Madini, Ahmad bin
Hanbal, Bukhari, Khathib Al Baghdady, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Rajab. Lihat
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Fi Naqdir Rijaal karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al
Madkhaly halaman 18.
[19] Lihat Ad Da’wah Illallah karya
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsary halaman 20,73, dan 81.
[20] Sebenarnya perkataan ini adalah
perkataan yang pernah diucapkan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh
Taqiyuddin As Sabky dalam Al Fataawiy 1/148. Kemudian Imam Mujahid mengambil
perkataan ini dari beliau sebagaimana disebutkan Ibnul Abdil Baar dalam Jami’ul
Bayaanil Ilmu wa Fadllihi 1/191 dan Al Ihkam fi Ushulil Ahkam 1/145. Lalu Imam
Malik mengambilnya dari Imam Mujahid. Imam Ahmad bin Hambal juga pernah
mengatakan perkataan yang semakna sebagaimana yang telah disebutkan Abu Dawud
dalam Masa’il Imam Ahmad halaman 276. (Lihat Hal lil Muslimin Mulzamun Bit
Tiba’i Madzhabin Mu’ayyan karya Muhammad Sulthan Al Ma’shumi, tahqiq Syaikh
Salim Al Hilali halaman 42)
[21] Lihat Hukmul Intima’ Ilal Firaq
wal Ahzab wal Jama’atil Islamiyah oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid halaman
41-43.
[22] Lihat Dzammut Ta’wil oleh Ibnu
Qudamah halaman 35.
[23] Lihat Hurmatul Ibtida’ Fid Dien
oleh Abu Bakr Al Jazairy halaman 44.
[24] Lihat Ilmu Ushulil Bida’ Syaikh
Ali Hasan Abdul Hamid halaman 314.
[25] Seorang yang menisbatkan
pemahamannya kepada para Salaf dengan menyebutkan dirinya sebagai Salafy tidak
dapat dikatakan hizbiyah bahkan semestinya seorang Ahlus Sunnah yang mengaku
mengikuti Salaf harus menyebutkan dirinya salafy. Karena penisbatan ini adalah
penisbatan yang dituntut ketika munculnya berbagai macam kelompok bid’ah. Hal
ini serupa dengan orang yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah. (Al Ashalah nomor
9 tahun 1414 halaman 86, dinukil dari tulisan Syaikh Al Albany rahimahullah.
Lihat Salafy edisi perdana rubrik Mabhats halaman 8-10)
[26] Hal ini semakna dengan hadits
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika menggariskan satu garis lurus
lalu mengatakan hal ini jalan Allah yang lurus dan menggariskan garis-garis
lain di sebelah kanan dan kini garis lurus tersebut. Lalu mengatakan, ini
jalan-jalan yang tidak ada satu jalan pun melainkan ada setan yang menyeru
kepadanya. (HR. Ahmad 1/453 dan 465, Ath Thayalisi 244, dan An Nasa’i dalam Al
Kubra sebagaimana dalam At Tuhfah 7/49, sanadnya lihat Al Hawadits wal Bida’
Imam Ath Thurthusy tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Atsary halaman 32)
[27] Lihat Tafsir Ibnu Katsir
cetakan Darul Faiha (Damsyiq) dan Darus Salam (Riyadl) jilid 2 halaman 611.
Sumber : Maktabah As Sunnah
Izin copas ya akhi. Barakallahu fykum
BalasHapus