Alasan kedua kaum Syi’ah Rafidlah menganggap bahwa Ali radliyallahu
'anhu lebih berhak menjadi khalifah dari pada Abu Bakar dan Umar
radliyallahu 'anhuma adalah karena Ali radliyallahu 'anhu termasuk
keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Alasan ini adalah
sama seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari
keluarga Daud. Anggapan mereka ini adalah batil, karena tidak ada satu
pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari
kalangan ahlul bait. Demikian pula tidak disyaratkan bahwa khalifah
(pemimpin) itu harus dari kalangan ahlul bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam
al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada
seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba
sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yang harus
ada pada seorang pemimpin yaitu adanya sifat-sifat keadilan,
kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah subhanahu
wa ta'ala tentang Thalut yang Allah angkat menjadi pemimpin.
Perhatikan firman Allah:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut
memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?"
Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 247)
Selain sifat di atas, harus ada pula pada seorang pemimpin sifat
keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah akan mewarisi bumi ini untuk
orang-orang yang shalih. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam)
Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku
yang shalih. (al-Anbiya’: 105)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
(an-Nuur: 55)
Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim
meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa
kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dhalim dari
keturunannya.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dhalim". (al-Baqarah:
124)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah mengutip ucapan Mujahid dalam
menafsirkan ayat ini: “Yakni: adapun orang-orang yang shalih dari
mereka, maka aku akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang
dhalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin
dan Kami tidak peduli. (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan.
Di samping itu, sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi
pemimpin adalah memiliki kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga
berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat Kami. (as-Sajdah: 24)
Adapun syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Quraisyiyah (turunan
Quraisy). Namun syarat ini adalah setelah terpenuhinya syarat-syarat
tadi di atas. Artinya kalaupun ia adalah turunan Quraisy, namun jika
memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya ia
tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Jika ada beberapa orang yang
memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan
Quraisy, maka yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah
dari turunan Quraisy.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan bahwa khalifah itu adalah seluruhnya dari kaum Quraisy dalam sebuah riwayat:
Dari Jabir bin Samurah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Aku masuk bersama
ayahku menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka aku
mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap
hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau
berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada
ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?”. Ia menjawab: “Seluruhnya dari
kalangan Quraisy”. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa syarat untuk menjadi
seorang pemimpin tidak harus dari kalangan ahlul bait. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam hanya mengatakan dari kaum Quraisy. Oleh
karena itu seluruh para ulama sepakat bahwa syaratnya hanya quraisyiyah,
apakah dari ahlul bait atau tidak.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah: “Khilafah adalah pada Quraisy, selama
manusia masih tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang
berhak untuk merebutnya dari mereka, tidak keluar dari mereka, dan kami
tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat”. (Thabaqat
Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul Udhma, ad-Damiji, hal.
269)
Demikian pula imam Syafi’i rahimahullah menetapkan syarat ini dalam kitabnya al-Umm juz 1, hal. 143.
Berkata imam Malik rahimahullah: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali
orang Quraisy”. (Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat
Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok
sempalan seperti khawarij, mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum
Syi’ah Rafidlah, mereka menyempitkannya dan menganggap bahwa yang
dimaksud Quraisy adalah ahlul bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidlah dari sekte imamiyah atau itsna atsariyyah
mempunyai keyakinan bahwa kepemim-pinan setelah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam harus dari kalangan Ahlul bait yaitu Ali bin Abi
Thalib, kemudian kepada al-Hasan, kemudian al-Husein hingga kepada
turunan al-Husein hingga berakhir dengan al-Mahdi al-muntadzar yang
dianggapnya dari keturunan Husein yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Askari
yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari
ini. (lihat edisi selanjutnya, Insya Allah)
Padahal dari sekian banyak hadits yang ada, seluruhnya hanya menyatakan
dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari ahlul
bait.
Dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu 'anhu, ia berkata: berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Akan tetap urusan ini di
tangan Quraisy, hingga manusia tinggal tersisa dua orang”. (HR. Bukhari)
Sesungguhnya urusan ini tetap ada di tangan Quraisy selama mereka masih
menegakkan agama ini. Tidak ada yang menentang mereka seorang pun,
kecuali akan Allah sungkurkan wajahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum Quraisy adalah pemilik urusan ini, orang yang baiknya akan
mengikuti orang yang baik mereka. Dan orang yang jahatnya akan mengikuti
orang yang jahat mereka. Kemudian Sa’ad berkata: “Engkau benar, kami
(kaum Anshar) adalah para menteri, sedangkan kalian (kaum Quraisy)
adalah para pemimpin. (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at.
Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh
Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03,
Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi:
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi:
Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah
HP. 081564634143
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=7
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Di antara alasan kaum Syi’ah Rafidlah yang menganggap bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah:
1. Mereka menganggap Ali radhiyallahu ‘anhu lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
2. Ali radhiyallahu ‘anhu termasuk keluarga Rasulullah (ahlul bait).
3. Wasiat Rasulullah di Ghadir Qum.
Kita jawab alasan mereka satu persatu:
Pertama pendapat mereka tentang keutamaan Ali radhiyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
dan ijma’ kesepakatan para shahabat dan seluruh kaum muslimin. Bahkan
menyelisihi ucapan Ali radhiallahu 'anhu sendiri.
1. Diriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Ibnu Umar:
Kami membanding-bandingkan di antara manusia di zaman Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam. Maka kami menganggap yang terbaik adalah
Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman bin Affan. (HR. Bukhari)
Dalam lafazh lain dikatakan:
كُنَّا نَقُوْلُ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ
أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ
أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
أَجْمَعِيْنَ. رواه أبو داود في كتاب السنة باب التفضيل انظر عون المعبود ج
8 صلى الله عليه و سلم 381 والترمذي وقال حديث حسن صحيح)
Kami mengatakan dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup
bahwa yang paling utama dari umat nabi shallallahu `alaihi wa sallam
setelah beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman. (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata: Hadits hasan)
Dua hadits ini merupakan dalil yang qath’i (pasti) karena Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua kalimat yang penting yang
menunjukkan bahwa ucapannya tidak memiliki muatan subyektif. Pertama,
kalimat tersebut adalah: “Kami membanding-bandingkan…”, atau “Kami
mengatakan……”. Kedua kalimat tersebut menunjukkan bahwa ucapan itu
adalah ucapan para shahabat seluruhnya dan tidak ada seorang pun dari
mereka yang membantahnya.
Kalimat kedua adalah ucapan beliau: “Dan Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam masih hidup…” atau dalam lafazh lain: “di zaman Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam…..”. Ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan
para shahabat tersebut didengar dan disaksikan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam
tidak membantahnya. Inilah yang dinamakan oleh ahlul hadits dengan
hadits taqriri yang merupakan hujjah dan dalil yang qath’i.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu
sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil
Hanafiyah:
Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ? ? Ia
menjawab: “Abu Bakar”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia
menjawab: “Umar”. Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku
mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali
seorang dari kalangan muslimin”. (HR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah,
bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Bahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengancam untuk mencambuk
orang yang mengutamakan diri-nya di atas Abu Bakar dan Umar dengan
cambukan seorang pendusta.
Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu
Bakar dan Umar, kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang
pendusta.
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu
Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4
hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:
Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar
bin Khathab ketika telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba
seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di kedua
pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah
menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan Abu
Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah ? bersabda: ‘Waktu itu aku
bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar
dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar...’. Maka sungguh aku
berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku
menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.
Hadits-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil
yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidlah yang mengutamakan Ali di
atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.
3. Bahkan ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam siapa yang paling dicintainya, beliau shallallahu `alaihi wa
sallam menjawab: “Abu Bakar”. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari
‘Amr bin ‘Ash radhiallahu 'anhuma berikut:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengutus
pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Maka aku mendatanginya, dan
bertanya kepadanya: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau
shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari
kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku
berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau
menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul
Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal.
1856 no. 2384)
4. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar:
Kemudian ikutilah teladan orang-orang setelahku dari shahabatku yaitu
Abu Bakar dan Umar…. (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan Hakim; Lihat Silsilah
Ash-Shahihah juz 3 hal. 233, hadits no. 1233)
5. Banyak isyarat dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang
menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan sekaligus isyarat bahwa beliaulah
yang pantas mewakili Rasulullah shalla-llahu `alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:
Datang seorang wanita kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka
Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan:
“Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu
memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka
datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat Zhilalul
Jannah hal. 541-542, no. 1151)
Maka dengan riwayat-riwayat ini seluruh ulama ahlus sunnah sepakat bahwa
manusia terbaik setelah rasulnya adalah Abu Bakar, kemudian Umar,
ke-mudian Utsman kemudian Ali radhiyallahu 'anhum.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang keutamaan Abu
Bakar dan Umar di atas Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum: “Yang demikian
telah disepakati oleh para imam-imam kaum muslimin yang terkenal
keilmuan dan keshalihannya dari kalangan shahabat, tabi’in, pengikut
tabi’in, dan ini pula madzhab Imam Malik dan seluruh penduduk Madinah,
Imam Al-Laits Ibnu Sa’ad dan seluruh ulama Mesir, al-Auzai dan seluruh
penduduk Syam, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Hammad ibni Zaid, Hammad
Ibni Salamah dan seluruh penduduk Iraq. Dan ini juga madzhabnya imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq Ibnu Rahuyah, Abu Ubaid dan lain-lain dari
para imam-imam kaum muslimin”. (Maj-mu’ Fatawa juz IV hal. 421).
Imam Malik mengatakan bahwa itu adalah ijma’ penduduk Madinah dalam ucapannya:
Tidak kutemui satu orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu
terhadap diutamakannya Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. (Majmu’
Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma,
Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman ad-Damiji, hal. 311)
Sebaliknya barangsiapa yang menyelisihi pendapat ini, maka ia adalah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.
Wallahu a’lam
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at.
Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh
Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03,
Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi:
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi:
Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah
HP. 081564634143
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=6
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Syubhat pertama kaum syiah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakar
radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah adalah tidak sah, karena Ali
radhiallahu ‘anhu dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak
musyawarah, padahal Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah
daripada abu Bakar atau Umar radhiallahu ‘anhuma . Demikianlah syubhat
syi’ah yang mereka hembuskan dimana-mana, dengan kalimat yang sama dari
tokoh syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar
berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang Persia ini selalu mengatas-namakan Ahlul Bait
dan menganggap pemahamannya sebagai “Madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang
paling mudah terbawa dengan pemahaman syi’ah ini adalah orang-orang
yang mengaku sebagai turunan Ali radhiallahu ‘anhu atau Alawiyyin
–kecuali yang Allah rahmati–. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa
Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang
disampaikan oleh kaum syi’ah –yang merupakan jelmaan kaum majusi
Persia– adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang
otentik.
Mereka biasanya mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang
pa-ling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah. Kitab ini
berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang seluruhnya
diatasnamakan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu . Penulis buku
tersebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali radhiallahu ‘anhu tidak
terima dengan keputusan para shahabat ketika memilih Abu Bakar sebagai
khalifah. Bahkan dalam buku ini dinukil bahwa Ali radhiallahu ‘anhu
mencaci dan mencerca Abu Bakar, Umar dan para shahabat yang lain. Namun
sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali
radhiallahu ‘anhu tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga
tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiyyah dengan standar ilmu
hadits.
Kitab ini –yang dikalangan kaum Syi’ah sejajar dengan al-Qur’an–
ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan
Syi’ah imamiyyah, Rafidah yang bernama al-Murtadla Abi Thalib Ali bin
Husein bin Musa Al Musawi (w th. 436 Hijriyah). Buku ini telah
dinyatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagai kedustaan atas nama Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Imam adz-Dzahabi berkata –ketika membahas biografi orang ini– sebagai
berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan
kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali radhiallahu
‘anhu tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian besar kalimat-kalimat
itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun
ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan
oleh Imam Ali”. (Siyar A’lamin Nubala,17/589-590).
Beliau juga berkata:”…Barang siapa yang melihat buku Nahjul Balaghah
ini, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama
Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu , karena di dalamnya terdapat
caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu
Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma . Juga tedapat ungkapan-ungkapan
yang kaku (menurut kaidah sastra arab, pent) yang bagi orang yang telah
mengenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen.) dari
kalangan para shahabat dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan
yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal
3/124 Lisanul Mizan 4/223).
Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah)
riwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu semuanya kedustaan. (Al-‘ilmus
Syamikh, hal 237)
Demikian pula Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir
rawi wa adibis sami’ (juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang
Kedustaan kandungan kitab ini”.
Syaikhul IslamIbnu Taimiyah berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah
yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali
radhiallahu ‘anhu . Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya
untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka mereka-reka
kebohongan dengan anggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan. Sungguh Itu
bukanlah kebenaran, bukan pula merupakan sanjungan…. (Minhajus Sunnah
an-Nabawiyah, 8/55-56)
Sedangkan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan
sanad –dan sanad tersebut telah diteliti keshahihannya secara
ilmiyyah—ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu yang ternyata bertentangan
dengan apa yang mereka riwayatkan seratus delapan puluh derajat. Di
antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
setuju dengan keputusan para sahabat dalam pengang-katan Abu Bakar
radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Imam Bukhari meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Ubaidah bahwa ia mendengar Ali radhiallahu ‘anhu
mengatakan:
Putuskanlah sebagaimana kalian putus-kan, sesungguhnya aku membenci
perselisihan hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau lebih baik
aku mati seperti para shahabat-shahabatku yang telah mati. (AR. Bukhari
dalam Fadha-ilus Shahabah 3504) Kedua, diriwayatkan pula secara
mustafidh dari Ali bin Abi Thalib sendiri sebagaimana dalam Shahih
Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul
Hanafiyah rahimahullah:
Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
): “Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam ? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku berta-nya (lagi): “Kemudian
siapa?”. Ia men-jawab: “Umar”. Dan aku khwatir ia akan berkata Utsman,
maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku
kecuali se-orang dari kalangan muslimin”. (AR. Bukhari, kitab Fadlailus
Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Ketiga, berkata Ibnu Taimiyah bahwa riwayat yang seperti ini (yakni
riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Imam Ali lebih dari 80 riwayat.
Dan bahwasanya imam Ali ibnu Abi Thalib pernah berbicara di mimbar
Kuffah, mengancam orang-orang yang mengutamakan dirinya di atas Abu
Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku di atas Abu
Bakar dan Umar kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.
Maka ketika itu seorang yang menga-takan beliau lebih utama dari Abu
Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4
hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).
Keempat, Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung
dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah
menghadiri jenazah Umar bin Khathab, dia berkata:
Sungguh aku pernah berdiri di keru-munan orang yang sedang mendoakan
Umar bin Khathab yang telah diletak-kan di atas pembaringannya.
Tiba-tiba seseorang dari belakangku –yang me-letakkan sikunya di kedua
pundakku– berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah
mengga-bungkan engkau bersama dua shaha-batmu raYakni Rasulullah dan
Abu Bakar), karena aku sering mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku
telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, dan ‘aku pergi dengan
Abu Bakar dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah
menggabung-kan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku
ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. (HR. Bukhari dalam Fadlailus
Shahabah, 3389).
Keenam, diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah bahwa telah terjadi
ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah atas afdlaliyah (keutamaan) Abu
Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma di atas Ali radhiallahu ‘anhu, beliau
radhiallahu ‘anhu berkata:
Tidak kutemui satu orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu
terhadap diutamakannya Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. (
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul
‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman ad-Damiji, hal. 311)
Ketujuh , maka setelah ini kita katakan kepada kaum Syi’ah dan kalangan
mutasyayi’in (yang kesyi’ah-syi’ahan) ucapan Imam Ats-Tsauri sebagai
berikut:
Barangsiapa yang menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada
Abu Bakar dan Umar, maka berarti dia telah menyalahkan Abu Bakar, Umar,
Muhajirin dan Anshar radhiallahu ‘anhum. Maka Aku ti-dak mengira kalau
amalannya akan naik ke langit (yakni diterima di sisi Allah). (Riwayat
Abu Dawud dalam Ki-tabus Sunnah, bab at-Tafdlil; lihat Aunul Ma’bud,
8/382).
Barang siapa menganggap Ali lebih berhak untuk menjadi khalifah, maka
dia telah menuduh dua belas ribu para shahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam. (Al-Musnad min Masa’il Imam Ahmad oleh al-Khalal dalam
bentuk manuskrip dan dishahihkan sanad-sanadnya oleh Imam Nawawi lihat
ash-Shawaiq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar al-Haitsami melalui nukilan
ad-Damiji dalam al-Imamatul ‘Udzma hal. 313)
Wallahu a’lam
Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at.
Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh
Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03,
Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi:
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi:
Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah
HP. 081564634143
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=782
Soal:
Sering kita melihat pada dinding tulisan lafazh jalalah “Allah” dan di
sampingnya lafazh “Muhammad” atau terdapat pada buku dan sebagian
mushaf. Apakah tempat untuk lafazh ini benar?
Jawaban:
Tempatnya tidak benar. Karena, hal ini berarti menjadikan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tandingan Allah yang sama
dengan-Nya. Jika ada orang yang melihat tulisan ini dan ia tidak tahu
nama kedua hal itu, ia akan meyakini bahwa kedua hal itu adalah sama dan
serupa. Maka, wajib menghilangkan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Namun kemudian, perhatian tertuju pada tulisan lafazh “Allah” saja. Ini
adalah satu kata yang biasa diucapkan oleh orang-orang sufi sebagai
ganti dari dzikir. Mereka biasa mengucapkan “Allah…Allah…Allah” dan
tidak “Muhammad”. Maka dari itu, berarti harus dihilangkan juga.
Tidak menulis “Allah” dan tidak juga menulis “Muhammad” pada dinding dan pada media selainnya.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi
Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-16, Penerjemah: Abu Zaid
Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al
Ilmu Jogjakarta)
Jika kita melihat dan memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi
belakangan ini, maka kita akan mendapati sebagian dari kaum muslimin
berada dipinggir jalan mencoba mengais rezeki dengan menengadahkan
tanganya kepada setiap orang yang melintas. Ini adalah suatu pemandangan
yang sangat memilukan hati. Padahal meminta-minta adalah perbuatan yang
tercela didalam islam. Mereka tinggalkan usaha atau berkarya dengan
tangan mereka sendiri. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah
menjamin rezeki bagi mereka. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
"tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang mengatur rezekinya."(Hud: 6)
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
"Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya
Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Ia memberi rezeki
kepada burung. Dimana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut
kosong(lapar), dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang."
[HR.At-Tirmidzy(4/2344),Ibnu Majah(2/4164),dan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak(4/318),dan dia berkata::”hadits ini hasan shahih.”dan
disepakati oleh Adz-Dzahaby)]
Dari keterangan ini, maka jelaslah! bahwasanya setiap dari kita telah
dijamin rezekinya oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tinggal usaha dari
kita untuk mendapatkannya. Karena rezeki tidak turun begitu saja dari
langit, akan tetapi dibutuhkan usaha, kesungguhan serta tawakkal yang
sempurna. Oleh karena itu, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-
memberikan perumpamaan dengan seekor burung yang keluar dari sarangnya
untuk mencari rezeki. Burung itu tidak tinggal di dalam sarangnya
menunggu rezeki yang datang kepadanya.Akan tetapi,dia berusaha dengan
terbang kesana kemari untuk mendapatkan makanannya. Dan manusia yang
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memberikan banyak fasilitas kepadanya
dibandingkan burung ( berupa kaki, tangan, hati, dll )maka itu lebih
layak baginya untuk berusaha dalam mencari rezekinya. Sebagaiman firman
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- :
"Apabila sholat telah selesai ditunaikan maka bertebaranlah kamu
sekalian dimuka bumi ini dan carilah karunia Allah."(Al-Jum’ah:10).
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- sangat menganjurkan agar
seorang muslim untuk makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga
kehormatan diri dengan tidak meminta dan mengharapkan pemberian dari
orang lain.Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
"Sungguh salah seorang diantara kalian pergi mencari kayu bakar dan
dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya,maka itu lebih baik baginya
dari pada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi
ataupun tidak memberinya."[HR.Al-Bukhary(4/2073/Alfath.),
Muslim(2/zakat/721),dan An-Nasa’y(5/2573),dari Abu Hurairah
-radhiyallahu ‘anhu- ].
Dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
"Tidak ada seseorang,makan makanan yang lebih baik daripada makan dari
hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya nabi Allah Daud-’alaihi
salaam-makan dari hasil usahanya sendiri."
[HR.Al-Bukhary(4/2072/Al-Fath.), Ahmad didalam Musnadnya(4/131,`132),
dari sahabat Al-Miqdam bin Ma’dikarib -radhiyallahu anhu- )
Oleh karena itu, hendaknya setiap dari kita untuk menjaga kehormatan
dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.Karena
sesungguhnya, tidaklah seseorang meminta dari orang lain, kecuali ia
menjadi hina dan rendah dalam pandangan orang lain itu.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :
"Tangan yang diatas,itu lebih baik dari pada tangan yang dibawah.Tangan
yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah
tangan yang meminta-minta."[HR.Al-Bukhary(3/1429/Al-Fath.),dan Muslim
(2/zakat/717), dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu-)
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- telah memperingatkan akan
bahaya atau balasan terhadap orang yang meminta-minta. Bahwasanya
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
"Seseorang diantara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti
bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tidak ada daging sama sekali,"
[HR.Al-Bukhary (3/1474/Al-Fath.) dan Muslim(2/zakat/720),dan Ahmad(2/15)
dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu- ).
Dan Rasulullah juga bersabda:
"Barang siapa yang meminta-minta kepada sesama manusia dengan tujuan
untuk memperbanyak kekayaannya,maka sesungguhnya ia meminta bara
api.Terserah padanya apakah ia mengumpulkan sedikit saja atau akan
memperbanyaknya." [HR.Muslim(2/zakat/760), Ibnu Majah(2/1737),Ahmad
didalam Musnadnya(2/231), dan Al-Baihaqy dalam Sunannya(4/196), dari
sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- )
Dengan melihat ancaman seperti ini,maka seorang muslim hendaknya takut
dan menahan dirinya serta menjaga kehormatannya dari meminta-minta
kepada orang lain kecuali dalam keadaan darurat.Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-didalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Qabishah Bin
Mukhariq Al-Hilali -radhiyallahu anhu- bahwasanya dia berkata:
"Saya memiliki tanggungan (hutang, diat dan sebagainya) lalu saya
mendatangi Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- untuk meminta
sesuatu kepada Beliau -Shollallahu alaihi wa sallam- .Rasulullah
-Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:"tinggallah!sampai datang kepada
kami sedekah, nanti akan kami perintahkan agar dibagikan kepadamu".
Kemudian Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda: "Hai
Qabishah,sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah
satu dari tiga orang, Pertama, orang yang sedang menanggung beban
(denda, hutang dansebagainya) maka ia boleh meminta sampai ia melepaskan
tanggungan(beban)itu. Kedua, seseorang yang tertimpa kecelekaan/musibah
yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga ia
bisa memperoleh kehidupan yang layak. Ketiga, seseorang yang sangat
miskin,sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari kaumnya
bahwa"si fulan benar-benar miskin"maka ia boleh meminta-minta sehingga
ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Hai Qabishah, meminta-minta
yang selain karena tiga sebab ini maka itu adalah usaha yang haram, dan
orang yang memakannya berarti makan barang yang
haram."[HR.Al-Bukhary(3/1479/Al-Fath.), dan Muslim (2/zakat/719).
Saudaraku…kelaparan dan sedikit ibadah lebih baik daripada kamu memakan
dari hasil meminta-minta dari orang lain seraya melakukan banyak ibadah.
Asy-Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i –rahimahullah-berkata:"Saya
nasehatkan kepada Ahlus Sunnah agar bersabar menghadapi
kemiskinan.Karena kemiskinan ini adalah keadaan yang telah dipiihkan
oleh Allah untuk Nabinya Muhammad-Shollallahu alaihi wa sallam-. Dan
Rabb Yang Maha Perkasa berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
"dan sungguh akan kami beikan cobaan kepedamu dengan sedikilt ketakutan
kelaparan jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita kepada orang-orang
yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka
mengucapkan inna lillahi wa inna lillahi rajiun mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunju";( Al-baqarah 155-157)
Perhatikanlah beberapa petikan tentang kesabaran Nabi dan para
sahabatnya -radhiyallahu -Ta’ala-’anhum- di dalam menghadapi kemiskinan,
kelaparan dan kekurang di dalam pangan (tidak memiliki pakaian). Imam
Muslim meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dia
berkata :
pada suatu hari atau malam Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-
keluar rumah, tiba-tiba bertemu dengan Abu baker dan Umar ,lalu beliu
berkata :"apa yang mengeluarkan kalian dari rumah kalian, pada saat
seperti ini?"
Keduanya menjawab ";lapar ya Rasulullah"
Beliau bersabda: " demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya juga
dikeluarkan oleh yang menyebabkan kalian keluar, bangkitlah !"
Lalu keduanya bangkit bersam Beliau lalu memdatangi seorang sahabat
Ansar ternyata dia tiadak ada di rumah namun. Ketika istri sahabat
tersebut melihat dia berkata " selamat datang". Rasulullah -Shollallahu
alaihi wa sallam- nbertanya kepadanya kemana Si pulan ? wanita itu
berkata :"kjeluar mencari air minum untuk kami". Kemudian datanglah
sahabat Ansar tersebut dan melihat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa
sallam- beserta kedua sahabatnya kemudian dia berkata "segala puji bagi
Allah tidak seorangpun pada hari ini yang tamunya lebih mulia daripada
aku".
Kemudian dia pergi dan membawa setandan kurma lengkap, ada busr (kurma
muda), tamr (kurma matang) dan ruthab (kurma yang masih basah
diaberkata:"silahkan makan". ’setelah itu dia mengambil pisau.
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- menegurnya :" hati-hati jangan
ambil yang sedang menyusui". Diapun menyembelih seekor kambing.
Merekapun makan dari kambing dan setandan kurma dan minum. Setelah
kenyang dan hilang dahaga, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-
berkata kepada abu bakr dan umar :" demi zat yng jiwaku ada di
tangan-Nya kalian pasti akan ditanyai tentang kenkmatan ini pada hari
kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah kalian,
kemudiann kalian tidak pulang kecuali telah menyantap kenikmatan ini"
.[HR. Muslim (3/1609)]
Oleh karena itu janganlah engkau berkecil hati dengan kemiskinan jyang
menimpa dirimu dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah karena
sesungguhnya rahmat Allah itu luas maka berusahalah dengan kemampuan
yang ada pada dirimu tentunya dengan cara yang halal dan bersifatlan
dengan sifat qona’ah yaitu merasa cukup dengan apa yang ada pada dirimu.
Karena sesungguhyan kekayaan itu bukanlah dilihat dari banyaknya harta
benda akan tetapi dilihat dari lapangnya dada dalam menerima kondisi
kita yang telah diberikan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- .
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- ‘
‘Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang
dianamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa . .[HRAl-Bukhari
(11/6446/Al-Fath.)dan Muslim(2/zakat/726) dari Abu Hurairah
-radhiyallahu ‘anhu- )
Seorang penyair pernah berkata:
sungguh kekeyaan itu adalah kaya akan jiwa
meski tanpa berbalut baju tanpa beralas kaki
orang tiada puas meski lebih dari sederhana
namu bila hati menerima, sebagian sajapun mencukupi.
Inilah yang dapat kami uraikan dalam masalah tercelanya meminta-minta
dari sejumlah ayat Al Qur’an dan Hadits yang sahih agar binasa orang
yang memang pantas binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang
yang memang pantas hidup dengan keterangan yang nyata. Wassalam
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 15 Tahun I. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne
No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab :
Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri
Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan
hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)