Sabtu, 24 Desember 2011

KHILAFAH TIDAK HARUS ADA PADA AHLUL BAIT, bantahan syi'ah ke 3




   






Alasan kedua kaum Syi’ah Rafidlah menganggap bahwa Ali radliyallahu 'anhu lebih berhak menjadi khalifah dari pada Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma adalah karena Ali radliyallahu 'anhu termasuk keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Alasan ini adalah sama seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Daud. Anggapan mereka ini adalah batil, karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan ahlul bait. Demikian pula tidak disyaratkan bahwa khalifah (pemimpin) itu harus dari kalangan ahlul bait.

Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu adanya sifat-sifat keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah subhanahu wa ta'ala tentang Thalut yang Allah angkat menjadi pemimpin.
Perhatikan firman Allah:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 247)

Selain sifat di atas, harus ada pula pada seorang pemimpin sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang shalih. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ اْلأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُون.َ

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih. (al-Anbiya’: 105)

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (an-Nuur: 55)

Oleh karena itu ketika Allah menjadikan Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang dhalim dari keturunannya.

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dhalim". (al-Baqarah: 124)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Yakni: adapun orang-orang yang shalih dari mereka, maka aku akan jadikan mereka sebagai pemimpin. Adapun orang yang dhalim dari mereka, maka Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli. (Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan.
Di samping itu, sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah memiliki kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ.

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (as-Sajdah: 24)

Adapun syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Quraisyiyah (turunan Quraisy). Namun syarat ini adalah setelah terpenuhinya syarat-syarat tadi di atas. Artinya kalaupun ia adalah turunan Quraisy, namun jika memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya ia tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy, maka yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan bahwa khalifah itu adalah seluruhnya dari kaum Quraisy dalam sebuah riwayat:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ هَذَا اْلأَمْرَ لاَ يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِيَ عَلَيَّ قَالَ فَقُلْتُ ِلأَبِي مَا قَالَ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.

Dari Jabir bin Samurah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka aku mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?”. Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy”. (HR. Bukhari Muslim)

Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah bahwa syarat untuk menjadi seorang pemimpin tidak harus dari kalangan ahlul bait. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam hanya mengatakan dari kaum Quraisy. Oleh karena itu seluruh para ulama sepakat bahwa syaratnya hanya quraisyiyah, apakah dari ahlul bait atau tidak.

Berkata Imam Ahmad rahimahullah: “Khilafah adalah pada Quraisy, selama manusia masih tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka, tidak keluar dari mereka, dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat”. (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul Udhma, ad-Damiji, hal. 269)

Demikian pula imam Syafi’i rahimahullah menetapkan syarat ini dalam kitabnya al-Umm juz 1, hal. 143.

Berkata imam Malik rahimahullah: “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy”. (Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti khawarij, mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidlah, mereka menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah ahlul bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidlah dari sekte imamiyah atau itsna atsariyyah mempunyai keyakinan bahwa kepemim-pinan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam harus dari kalangan Ahlul bait yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian kepada al-Hasan, kemudian al-Husein hingga kepada turunan al-Husein hingga berakhir dengan al-Mahdi al-muntadzar yang dianggapnya dari keturunan Husein yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini. (lihat edisi selanjutnya, Insya Allah)
Padahal dari sekian banyak hadits yang ada, seluruhnya hanya menyatakan dari Quraisy, dan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari ahlul bait.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَزَالُ هَذَا اْلأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنَ النَّاسِ اثْنَانِ.

Dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu 'anhu, ia berkata: berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Akan tetap urusan ini di tangan Quraisy, hingga manusia tinggal tersisa dua orang”. (HR. Bukhari)

إِنَّ هَذَا اْلأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لاَ يُعَادِيْهِمْ أَحَدٌ إِلاَّ كَبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّيْنَ.

Sesungguhnya urusan ini tetap ada di tangan Quraisy selama mereka masih menegakkan agama ini. Tidak ada yang menentang mereka seorang pun, kecuali akan Allah sungkurkan wajahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ لِمُسْلِمِهِمْ وَكَافِرُهُمْ لِكَافِرِهِمْ

Manusia itu selalu mengikut Quraisy dalam urusan ini. Kaum muslimnya mengikuti muslim mereka dan kafirnya mengikuti kafir mereka. (HR. Bukhari)

قُرَيْشٌ وُلاَةُ هَذَا اْلأَمْرِ فَبَرُّ النَاسُ تَبَعٌ لِبِرِّهِمْ وَفَاجِرُهُمْ تَبَعٌ لِفَاجِرِهِمْ قَالَ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ صَدَقْتَ نَحْنُ الْوِزَرَاءُ وَأَنْتُمُ اْلأُمَرَاءُ

Kaum Quraisy adalah pemilik urusan ini, orang yang baiknya akan mengikuti orang yang baik mereka. Dan orang yang jahatnya akan mengikuti orang yang jahat mereka. Kemudian Sa’ad berkata: “Engkau benar, kami (kaum Anshar) adalah para menteri, sedangkan kalian (kaum Quraisy) adalah para pemimpin. (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam

Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=7
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed






   

KEUTAMAAN ABU BAKAR DAN UMAR DI ATAS ALI RADHIALLAHU 'ANHUM, syubuhat syi'ah ke 2




   





Di antara alasan kaum Syi’ah Rafidlah yang menganggap bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah:

1. Mereka menganggap Ali radhiyallahu ‘anhu lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.

2. Ali radhiyallahu ‘anhu termasuk keluarga Rasulullah (ahlul bait).

3. Wasiat Rasulullah di Ghadir Qum.

Kita jawab alasan mereka satu persatu:

Pertama pendapat mereka tentang keutamaan Ali radhiyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.

Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ijma’ kesepakatan para shahabat dan seluruh kaum muslimin. Bahkan menyelisihi ucapan Ali radhiallahu 'anhu sendiri.

1. Diriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Ibnu Umar:

كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. (رواه البخاري فتح الباري ج 7 ص 16)

Kami membanding-bandingkan di antara manusia di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman bin Affan. (HR. Bukhari)

Dalam lafazh lain dikatakan:

كُنَّا نَقُوْلُ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ. رواه أبو داود في كتاب السنة باب التفضيل انظر عون المعبود ج 8 صلى الله عليه و سلم 381 والترمذي وقال حديث حسن صحيح)

Kami mengatakan dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup bahwa yang paling utama dari umat nabi shallallahu `alaihi wa sallam setelah beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata: Hadits hasan)

Dua hadits ini merupakan dalil yang qath’i (pasti) karena Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma menyebutkan dua kalimat yang penting yang menunjukkan bahwa ucapannya tidak memiliki muatan subyektif. Pertama, kalimat tersebut adalah: “Kami membanding-bandingkan…”, atau “Kami mengatakan……”. Kedua kalimat tersebut menunjukkan bahwa ucapan itu adalah ucapan para shahabat seluruhnya dan tidak ada seorang pun dari mereka yang membantahnya.

Kalimat kedua adalah ucapan beliau: “Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup…” atau dalam lafazh lain: “di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam…..”. Ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan para shahabat tersebut didengar dan disaksikan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan beliau shallallahu `alaihi wa sallam tidak membantahnya. Inilah yang dinamakan oleh ahlul hadits dengan hadits taqriri yang merupakan hujjah dan dalil yang qath’i.

2. Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu sendiri yang diriwayatkan secara mustafidlah dari Muhammad Ibnil Hanafiyah:

قُلْتُ ِلأَبِي: أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ ?؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: عُمَرُ. وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاري: كتاب فضائل الصحابة باب 4 وفتح البارى 7/20)

Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah ? ? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia menjawab: “Umar”. Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin”. (HR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)

Bahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengancam untuk mencambuk orang yang mengutamakan diri-nya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.

لاَ أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يُفَضِّلُنِيْ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِيْنَ.

Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku diatas Abu Bakar dan Umar, kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.

Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:

إِني لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبِي يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ ِلأَنِيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ ? يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَهُمَا، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ. (رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر 3389 (4/1858))

Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu (Yakni Rasulullah dan Abu Bakar) karena aku sering mendengar Rasulullah ? bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar...’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.

Hadits-hadits dari Ali bin Abi Thalib ini merupakan sebesar-besar dalil yang membuktikan kedustaan kaum Syi’ah Rafidlah yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma.

3. Bahkan ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam siapa yang paling dicintainya, beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Abu Bakar”. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu 'anhuma berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ عُمَرُ فَعَدَّ رِجَالاً.

Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengutus pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Maka aku mendatanginya, dan bertanya kepadanya: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasulllah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)

4. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar:

ثُمَّ اقْتَدُوا بِاللَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ مِنْ أَصْحَابِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ...

Kemudian ikutilah teladan orang-orang setelahku dari shahabatku yaitu Abu Bakar dan Umar…. (HR. Tirmidzi, Baihaqi dan Hakim; Lihat Silsilah Ash-Shahihah juz 3 hal. 233, hadits no. 1233)

5. Banyak isyarat dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan sekaligus isyarat bahwa beliaulah yang pantas mewakili Rasulullah shalla-llahu `alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Jubair ibni Muth’im, dia berkata:

أَتَتِ امْرَأَةُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنَ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُوْلُ الْمَوْتَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِيْنِيْ فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ.

Datang seorang wanita kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110; lihat Zhilalul Jannah hal. 541-542, no. 1151)

Maka dengan riwayat-riwayat ini seluruh ulama ahlus sunnah sepakat bahwa manusia terbaik setelah rasulnya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, ke-mudian Utsman kemudian Ali radhiyallahu 'anhum.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum: “Yang demikian telah disepakati oleh para imam-imam kaum muslimin yang terkenal keilmuan dan keshalihannya dari kalangan shahabat, tabi’in, pengikut tabi’in, dan ini pula madzhab Imam Malik dan seluruh penduduk Madinah, Imam Al-Laits Ibnu Sa’ad dan seluruh ulama Mesir, al-Auzai dan seluruh penduduk Syam, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Hammad ibni Zaid, Hammad Ibni Salamah dan seluruh penduduk Iraq. Dan ini juga madzhabnya imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq Ibnu Rahuyah, Abu Ubaid dan lain-lain dari para imam-imam kaum muslimin”. (Maj-mu’ Fatawa juz IV hal. 421).

Imam Malik mengatakan bahwa itu adalah ijma’ penduduk Madinah dalam ucapannya:

مَا أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِمَّنْ يَقْتَدِي بِهِ يَشُكُّ فِي تَقَدِّمِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرً.

Tidak kutemui satu orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu terhadap diutamakannya Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman ad-Damiji, hal. 311)

Sebaliknya barangsiapa yang menyelisihi pendapat ini, maka ia adalah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.

Wallahu a’lam

Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=buletin?almanhaj=6
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed






   

KEABSAHAN KHILAFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ, bantahan syubuhat syi'ah ke 1




   





Syubhat pertama kaum syiah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah adalah tidak sah, karena Ali radhiallahu ‘anhu dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah daripada abu Bakar atau Umar radhiallahu ‘anhuma . Demikianlah syubhat syi’ah yang mereka hembuskan dimana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang Persia ini selalu mengatas-namakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “Madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan pemahaman syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali radhiallahu ‘anhu atau Alawiyyin –kecuali yang Allah rahmati–. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum syi’ah –yang merupakan jelmaan kaum majusi Persia– adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Mereka biasanya mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang pa-ling terkenal di kalangan mereka yaitu Nahjul Balaghah. Kitab ini berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah dan sya’ir-sya’ir yang seluruhnya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu . Penulis buku tersebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali radhiallahu ‘anhu tidak terima dengan keputusan para shahabat ketika memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Bahkan dalam buku ini dinukil bahwa Ali radhiallahu ‘anhu mencaci dan mencerca Abu Bakar, Umar dan para shahabat yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiyyah dengan standar ilmu hadits.
Kitab ini –yang dikalangan kaum Syi’ah sejajar dengan al-Qur’an– ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah imamiyyah, Rafidah yang bernama al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husein bin Musa Al Musawi (w th. 436 Hijriyah). Buku ini telah dinyatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagai kedustaan atas nama Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Imam adz-Dzahabi berkata –ketika membahas biografi orang ini– sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian besar kalimat-kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Imam Ali”. (Siyar A’lamin Nubala,17/589-590).
Beliau juga berkata:”…Barang siapa yang melihat buku Nahjul Balaghah ini, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu , karena di dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma . Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra arab, pent) yang bagi orang yang telah mengenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan 4/223).
Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu semuanya kedustaan. (Al-‘ilmus Syamikh, hal 237)

Demikian pula Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir rawi wa adibis sami’ (juz 2 hal. 161) telah memberikan isyarat tentang Kedustaan kandungan kitab ini”.

Syaikhul IslamIbnu Taimiyah berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali radhiallahu ‘anhu . Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka mereka-reka kebohongan dengan anggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan. Sungguh Itu bukanlah kebenaran, bukan pula merupakan sanjungan…. (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 8/55-56)

Sedangkan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad –dan sanad tersebut telah diteliti keshahihannya secara ilmiyyah—ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu yang ternyata bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan seratus delapan puluh derajat. Di antaranya:

Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu setuju dengan keputusan para sahabat dalam pengang-katan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ubaidah bahwa ia mendengar Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan:

اقْضُوْا كَمَا أَنْتُمْ تَقْضُوْنَ فَإِنِّيْ أَكْرَهُ الْخِلاَفُ حَتَّى يَكُوْنَ النَّاسَ جَمَاعَةً أَوْ أَمُوْتُ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِيْ.

Putuskanlah sebagaimana kalian putus-kan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau lebih baik aku mati seperti para shahabat-shahabatku yang telah mati. (AR. Bukhari dalam Fadha-ilus Shahabah 3504) Kedua, diriwayatkan pula secara mustafidh dari Ali bin Abi Thalib sendiri sebagaimana dalam Shahih Bukhari dengan menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah rahimahullah:

قُلْتُ ِلأَبِي: أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهَ r؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: عُمَرُ. وَخَشِيْتُ أَنْ يَقُوْلَ عُثْمَانُ. قُلْتُ: ثُمَّ أَنْْتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاري في فضائل الصحابة 3468 وفتح البارى 7/20)

Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ): “Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ? Ia menjawab: “Abu Bakar”. Aku berta-nya (lagi): “Kemudian siapa?”. Ia men-jawab: “Umar”. Dan aku khwatir ia akan berkata Utsman, maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku kecuali se-orang dari kalangan muslimin”. (AR. Bukhari, kitab Fadlailus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)

Ketiga, berkata Ibnu Taimiyah bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah diriwayatkan dari Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya imam Ali ibnu Abi Thalib pernah berbicara di mimbar Kuffah, mengancam orang-orang yang mengutamakan dirinya di atas Abu Bakar dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.

لاَ أُوْتِيَ بِأَحَدٍ يَفْضِلُنِيْ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِلاَّ جَلَّدْتُّهُ حَدَّ الْمُفْتَرِيْنَ

Tidak didatangkan kepadaku seseorang yang mengutamakan aku di atas Abu Bakar dan Umar kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.

Maka ketika itu seorang yang menga-takan beliau lebih utama dari Abu Bakar dan umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 422; Lihat Imamatul ‘Udhma, hal. 313).

Keempat, Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin Khathab, dia berkata:

إِني لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ نَدْعُوا اللهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيْرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى مَنْكِبَيْ يَقُوْلُ: رَحِمَكَ اللهَ إِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ ِلأَنِّيْ كَثِيْرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُوْلُ: كُنْتُ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنْ كُنْتُ َلأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللهُ مَعَهُمَا، فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ. (رواه البخاري في فضائل الصحابة، باب من فضائل عمر 3389 (4/1858))

Sungguh aku pernah berdiri di keru-munan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab yang telah diletak-kan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku –yang me-letakkan sikunya di kedua pundakku– berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah mengga-bungkan engkau bersama dua shaha-batmu raYakni Rasulullah dan Abu Bakar), karena aku sering mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakar dan Umar…’ ‘aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar…’, dan ‘aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabung-kan engkau dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. (HR. Bukhari dalam Fadlailus Shahabah, 3389).

Keenam, diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah bahwa telah terjadi ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah atas afdlaliyah (keutamaan) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma di atas Ali radhiallahu ‘anhu, beliau radhiallahu ‘anhu berkata:

مَا أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِمَّنْ يَقْتَدِي بِهِ يَشُكُّ فِي تُقَدِّمِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ.

Tidak kutemui satu orang pun dari ulama yang dijadikan teladan yang ragu terhadap diutamakannya Abu Bakar dan Umar di atas yang lainnya. ( Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/421; lihat Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah Ibnu Umar Ibnu Sulaiman ad-Damiji, hal. 311)

Ketujuh , maka setelah ini kita katakan kepada kaum Syi’ah dan kalangan mutasyayi’in (yang kesyi’ah-syi’ahan) ucapan Imam Ats-Tsauri sebagai berikut:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ عَلِيًّا كَانَ أَحَقُّ بِالْوَلاَيَةِ مِنْهُمَا فَقَدْ خَطَأَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَالْمُهَاجْرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْ جَمِيْعِهِمْ وَمَا أَرَاهُ يَرْتَفِعَ لَهُ مَعَ هَذَا عَمَلُ إِلَى السَّمَاءِ

Barangsiapa yang menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar dan Umar, maka berarti dia telah menyalahkan Abu Bakar, Umar, Muhajirin dan Anshar radhiallahu ‘anhum. Maka Aku ti-dak mengira kalau amalannya akan naik ke langit (yakni diterima di sisi Allah). (Riwayat Abu Dawud dalam Ki-tabus Sunnah, bab at-Tafdlil; lihat Aunul Ma’bud, 8/382).

Dalam riwayat lain Sufyan ats-Tsauri berkata:

…فَقَدْ أَزْرَى عَلَى اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ .

Barang siapa menganggap Ali lebih berhak untuk menjadi khalifah, maka dia telah menuduh dua belas ribu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (Al-Musnad min Masa’il Imam Ahmad oleh al-Khalal dalam bentuk manuskrip dan dishahihkan sanad-sanadnya oleh Imam Nawawi lihat ash-Shawaiq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar al-Haitsami melalui nukilan ad-Damiji dalam al-Imamatul ‘Udzma hal. 313)

Wallahu a’lam

Risalah Dakwah MANHAJ SALAF , Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=782






   

Menyandingkan lafzh “ALLAH” dengan “MUHAMMAD”




   





Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:
Sering kita melihat pada dinding tulisan lafazh jalalah “Allah” dan di sampingnya lafazh “Muhammad” atau terdapat pada buku dan sebagian mushaf. Apakah tempat untuk lafazh ini benar?

Jawaban:
Tempatnya tidak benar. Karena, hal ini berarti menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tandingan Allah yang sama dengan-Nya. Jika ada orang yang melihat tulisan ini dan ia tidak tahu nama kedua hal itu, ia akan meyakini bahwa kedua hal itu adalah sama dan serupa. Maka, wajib menghilangkan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun kemudian, perhatian tertuju pada tulisan lafazh “Allah” saja. Ini adalah satu kata yang biasa diucapkan oleh orang-orang sufi sebagai ganti dari dzikir. Mereka biasa mengucapkan “Allah…Allah…Allah” dan tidak “Muhammad”. Maka dari itu, berarti harus dihilangkan juga.

Tidak menulis “Allah” dan tidak juga menulis “Muhammad” pada dinding dan pada media selainnya.

(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-16, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)






   

Wajah-wajah Tak Berdaging




   





Jika kita melihat dan memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, maka kita akan mendapati sebagian dari kaum muslimin berada dipinggir jalan mencoba mengais rezeki dengan menengadahkan tanganya kepada setiap orang yang melintas. Ini adalah suatu pemandangan yang sangat memilukan hati. Padahal meminta-minta adalah perbuatan yang tercela didalam islam. Mereka tinggalkan usaha atau berkarya dengan tangan mereka sendiri. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah menjamin rezeki bagi mereka. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ


"tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang mengatur rezekinya."(Hud: 6)


Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :


"Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung. Dimana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong(lapar), dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang." [HR.At-Tirmidzy(4/2344),Ibnu Majah(2/4164),dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak(4/318),dan dia berkata::”hadits ini hasan shahih.”dan disepakati oleh Adz-Dzahaby)]


Dari keterangan ini, maka jelaslah! bahwasanya setiap dari kita telah dijamin rezekinya oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tinggal usaha dari kita untuk mendapatkannya­. Karena rezeki tidak turun begitu saja dari langit, akan tetapi dibutuhkan usaha, kesungguhan serta tawakkal yang sempurna. Oleh karena itu, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- memberikan perumpamaan dengan seekor burung yang keluar dari sarangnya untuk mencari rezeki. Burung itu tidak tinggal di dalam sarangnya menunggu rezeki yang datang kepadanya.Akan tetapi,dia berusaha dengan terbang kesana kemari untuk mendapatkan makanannya. Dan manusia yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memberikan banyak fasilitas kepadanya dibandingkan burung ( berupa kaki, tangan, hati, dll )maka itu lebih layak baginya untuk berusaha dalam mencari rezekinya. Sebagaiman firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- :


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


"Apabila sholat telah selesai ditunaikan maka bertebaranlah kamu sekalian dimuka bumi ini dan carilah karunia Allah."(Al-Jum’ah:10).


Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- sangat menganjurkan agar seorang muslim untuk makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta dan mengharapkan pemberian dari orang lain.Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:


"Sungguh salah seorang diantara kalian pergi mencari kayu bakar dan dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya,maka itu lebih baik baginya dari pada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya."[HR.Al-Bukhary(4/2073/Alfath.), Muslim(2/zakat/721),dan An-Nasa’y(5/2573),dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ].


Dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :


"Tidak ada seseorang,makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya nabi Allah Daud-’alaihi salaam-makan dari hasil usahanya sendiri." [HR.Al-Bukhary(4/2072/Al-Fath.), Ahmad didalam Musnadnya(4/131,`132), dari sahabat Al-Miqdam bin Ma’dikarib -radhiyallahu anhu- )


Oleh karena itu, hendaknya setiap dari kita untuk menjaga kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.Karena sesungguhnya, tidaklah seseorang meminta dari orang lain, kecuali ia menjadi hina dan rendah dalam pandangan orang lain itu.


Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, :




"Tangan yang diatas,itu lebih baik dari pada tangan yang dibawah.Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta."[HR.Al-Bukhary(3/1429/Al-Fath.),dan Muslim (2/zakat/717), dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu-)


Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- telah memperingatkan akan bahaya atau balasan terhadap orang yang meminta-minta. Bahwasanya Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:


"Seseorang diantara kalian akan selalu meminta-minta sehingga ia nanti bertemu dengan Allah sedangkan mukanya tidak ada daging sama sekali," [HR.Al-Bukhary (3/1474/Al-Fath.) dan Muslim(2/zakat/720),dan Ahmad(2/15) dari sahabat Ibnu ‘Umar -radhiyallahu anhu- ).


Dan Rasulullah juga bersabda:


"Barang siapa yang meminta-minta kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya,maka sesungguhnya ia meminta bara api.Terserah padanya apakah ia mengumpulkan sedikit saja atau akan memperbanyaknya." [HR.Muslim(2/zakat/760), Ibnu Majah(2/1737),Ahmad didalam Musnadnya(2/231), dan Al-Baihaqy dalam Sunannya(4/196), dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- )


Dengan melihat ancaman seperti ini,maka seorang muslim hendaknya takut dan menahan dirinya serta menjaga kehormatannya dari meminta-minta kepada orang lain kecuali dalam keadaan darurat.Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Qabishah Bin Mukhariq Al-Hilali -radhiyallahu anhu- bahwasanya dia berkata:


"Saya memiliki tanggungan (hutang, diat dan sebagainya) lalu saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- untuk meminta sesuatu kepada Beliau -Shollallahu alaihi wa sallam- .Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:"tinggallah!sampai datang kepada kami sedekah, nanti akan kami perintahkan agar dibagikan kepadamu". Kemudian Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda: "Hai Qabishah,sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang, Pertama, orang yang sedang menanggung beban (denda, hutang dansebagainya) maka ia boleh meminta sampai ia melepaskan tanggungan(beban)itu. Kedua, seseorang yang tertimpa kecelekaan/musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Ketiga, seseorang yang sangat miskin,sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari kaumnya bahwa"si fulan benar-benar miskin"maka ia boleh meminta-minta sehingga ia bisa memperoleh kehidupan yang layak. Hai Qabishah, meminta-minta yang selain karena tiga sebab ini maka itu adalah usaha yang haram, dan orang yang memakannya berarti makan barang yang haram."[HR.Al-Bukhary(3/1479/Al-Fath.), dan Muslim (2/zakat/719).


Saudaraku…kelaparan dan sedikit ibadah lebih baik daripada kamu memakan dari hasil meminta-minta dari orang lain seraya melakukan banyak ibadah.


Asy-Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i –rahimahullah-berkata:"Saya nasehatkan kepada Ahlus Sunnah agar bersabar menghadapi kemiskinan.Karena kemiskinan ini adalah keadaan yang telah dipiihkan oleh Allah untuk Nabinya Muhammad-Shollallahu alaihi wa sallam-. Dan Rabb Yang Maha Perkasa berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :


"dan sungguh akan kami beikan cobaan kepedamu dengan sedikilt ketakutan kelaparan jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna lillahi rajiun mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunju";( Al-baqarah 155-157)


Perhatikanlah beberapa petikan tentang kesabaran Nabi dan para sahabatnya -radhiyallahu -Ta’ala-’anhum- di dalam menghadapi kemiskinan, kelaparan dan kekurang di dalam pangan (tidak memiliki pakaian). Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dia berkata :


pada suatu hari atau malam Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- keluar rumah, tiba-tiba bertemu dengan Abu baker dan Umar ,lalu beliu berkata :"apa yang mengeluarkan kalian dari rumah kalian, pada saat seperti ini?"


Keduanya menjawab ";lapar ya Rasulullah"


Beliau bersabda: " demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya juga dikeluarkan oleh yang menyebabkan kalian keluar, bangkitlah !"


Lalu keduanya bangkit bersam Beliau lalu memdatangi seorang sahabat Ansar ternyata dia tiadak ada di rumah namun. Ketika istri sahabat tersebut melihat dia berkata " selamat datang". Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- nbertanya kepadanya kemana Si pulan ? wanita itu berkata :"kjeluar mencari air minum untuk kami". Kemudian datanglah sahabat Ansar tersebut dan melihat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- beserta kedua sahabatnya kemudian dia berkata "segala puji bagi Allah tidak seorangpun pada hari ini yang tamunya lebih mulia daripada aku".


Kemudian dia pergi dan membawa setandan kurma lengkap, ada busr (kurma muda), tamr (kurma matang) dan ruthab (kurma yang masih basah diaberkata:"silahkan makan". ’setelah itu dia mengambil pisau. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- menegurnya :" hati-hati jangan ambil yang sedang menyusui". Diapun menyembelih seekor kambing. Merekapun makan dari kambing dan setandan kurma dan minum. Setelah kenyang dan hilang dahaga, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- berkata kepada abu bakr dan umar :" demi zat yng jiwaku ada di tangan-Nya kalian pasti akan ditanyai tentang kenkmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah kalian, kemudiann kalian tidak pulang kecuali telah menyantap kenikmatan ini" .[HR. Muslim (3/1609)]


Oleh karena itu janganlah engkau berkecil hati dengan kemiskinan jyang menimpa dirimu dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah karena sesungguhnya rahmat Allah itu luas maka berusahalah dengan kemampuan yang ada pada dirimu tentunya dengan cara yang halal dan bersifatlan dengan sifat qona’ah yaitu merasa cukup dengan apa yang ada pada dirimu. Karena sesungguhyan kekayaan itu bukanlah dilihat dari banyaknya harta benda akan tetapi dilihat dari lapangnya dada dalam menerima kondisi kita yang telah diberikan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- .


Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- ‘


‘Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak hartanya, tetapi yang dianamakan kaya sebenarnya adalah kekayaan jiwa . .[HRAl-Bukhari (11/6446/Al-Fath.)dan Muslim(2/zakat/726) dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- )


Seorang penyair pernah berkata:


sungguh kekeyaan itu adalah kaya akan jiwa


meski tanpa berbalut baju tanpa beralas kaki


orang tiada puas meski lebih dari sederhana


namu bila hati menerima, sebagian sajapun mencukupi.


Inilah yang dapat kami uraikan dalam masalah tercelanya meminta-minta dari sejumlah ayat Al Qur’an dan Hadits yang sahih agar binasa orang yang memang pantas binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang memang pantas hidup dengan keterangan yang nyata. Wassalam


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 15 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)


http://almakassari.com/?p=56