Tanya:
Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai
mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka
selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda
mendapat balasan di sisi-Nya.
Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang
berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama
ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri
bukan bersama-sama.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.
Sumber :
Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Dewasa ini masih kita jumpai banyak diantara masyarakat muslim masih
sulit membedakan mana yang sunnah (yang dicontohkan Rasulullah) mana
yang bid’ah (perkara yang dibuat-buat atau ditambah-tambah). Ada
sekelompok orang yang menganggap semua amalan yang baik akan mendapatkan
pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Padahal amalan tersebut belum tentu akan
diterima malah sebaliknya mendapat dosa.
Salah satunya yang masih sering kita jumpai di mushallah-mushallah
dan masjid-masjid, mereka membuat amalan yang tidak pernah dicontohkan
Rasulullah yaitu zikir dan doa bersama dengan suara yang keras.
Untuk memahami hukum hukum doa secara berjamaah setelah shalat,
dibawah ini tulisan yang di nukil dari pendapat Syaikhul
Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
Adapun do’a imam bersama makmum setelah shalat lima waktu secara
berjama’ah dengan mengeraskan suara atau boleh jadi suaranya tidak
dikeraskan, maka ini bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diperintahkan dan bukan ajaran yang dirutinkan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali melakukan seperti itu.
Sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hambali memang menganjurkan
yang demikian, namun itu hanya di waktu shalat Shubuh dan Ashar karena
setelah itu tidak ada lagi shalat.
[Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, hal. 134-135]
***
Demikian keterangan singkat beliau. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen),
janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.
Semua bid’ah adalah sesat.”[1]
Imam Malik rahimahullah berkata,
إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا
وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ
االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar.
Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits
Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan
Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[2]
Wallahu waliyyut taufiq.
[1] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no.
8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya
adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih
[2] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar